Kamis, 21 Agustus 2014

Oase


Kita seringkali lupa, bahwa untuk merasakan manisnya gula, kita perlu mencicipi garam. Begitu pula tentang bahagia, untuk mengenalnya, barangkali kita harus tahu bagaimana rasanya sakit. Pepatah dari gurun sana pernah bilang, “Bididdihaa, Ta,rifil Asyyaa…” justru dengan antonimnya, kita akan mengetahui hakikat sesuatu.
Suka-duka, pahit-manis, getir-bahagia, adalah dua sisi kehidupan yang tidak dapat kita hindari. Rasa takut, atau bahkan lari dari kenyataan, tidak akan menyelamatkan dari takdir Tuhan. Jalani, hadapi, biarlah Dia yang meng-ATAS-i.
Terhadap takdirNya, tak ada protes, tak ada keberatan. Sebab, yang kita lihat, belum tentu seperti yang kita bayangkan. Yang kita pikirkan, belum tentu seperti yang Dia inginkan.
Read More..

Minggu, 10 Agustus 2014

Wawancara


Bagaimana perasaan anda berdua setelah resmi mendaftar menjadi calon PPMI I dan PPMI II?

Pertama-tama, kami mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Informatika yang bersedia mewawancarai kami. untuk menyebar luaskan berita terhangat, terkini dan teraktual yang sangat dibutuhan Masisir. Alhamdulillah kami telah mendaftar kembali pukul 6.30 dengan melengkapi 5 paspor yang kurang sebelumnya. Diperkirakan malam ini pukul 7.15 ini kita akan mengikuti screening, dan mudah-mudahan kami bisa melewatinya dengan lancar. Setelah ini kami akan mencoba berdinamika dalam keorganisasian.

Apa motivasi terbesar anda berdua sehingga tertarik mencalonkan diri menjadi PPMI I dan II?
Motivasi kami berangkat dari keinginan untuk menyambung estafet nilai-nilai yang telah dibangun oleh Pak Amrizal dari kepengurusan dan kepemimpinannya. Banyak sekali nilai-nilai dan ruh-ruh baru yang ia usung dengan al-Azhar, dari sinilah kami berdua merasa terpanggil, karena kebetulan kami juga pelaku dalam hal ini, alangkah baiknya kita mengestafetkan ini untuk saling sambung menyambung dalam hal nilai-nilai kebaikan.
Indonesia sebenarnya memiliki benteng yang sangat kuat dalam menahan hancurnya akhlak, benteng itu adalah lembaga pendidikan yang disini diwakili oleh Almamater, kami melihat komunikasi antar Almamater saat ini belum optimal. Maka kami terdorong untuk memaksimalkan silaturrahim antar Almamater dalam berbagai bidang, agar nanti ketika sudah pulang ke Indonesia kita saling mengenal dan memperkokoh benteng akhlak itu.

Untuk orang, kira-kira ada nggak seseorang yang memotivasi anda berdua?
Tentunya langsung dari guru-guru. Kami termotivasi oleh senyumnya syeikh ‘Ala atau Syeikh Jailani yang sumringah ketika dikunjungi oleh banyaknya mahasiswa Indonesia. Kami lebih banyak termotivasi dari rohaniah. Kami kadang-kadang juga ikut talaqqi di Al-Azhar, sehingga ketika kami di PPMI, semoga bisa lebih banyak mengajak kawan-kawan untuk ikut talaqqi ke Al-Azhar.

Dengar-dengar anda berdua sempat sama-sama ngotot untuk menjadi PPMI I, sekarang malah menjadi pasangan, kita kira apa yang menyebabkan seperti itu?
Kabar itu menguap karena waktu itu kami belum ada komunikasi, setelah duduk bareng, ngobrol, ternyata impian kita sama, visi misi sama, meski dari latar belakang yang berbeda, bahkan kami saling melengkapi, satu dari pondok modern satu dari pondok salaf, satu lahir di jalanan, satu lagi lahir dengan managemen waktu yang luar biasa, jadi kami jatuh cinta di komunikasi pertama. Dan menurut kami PPMI I dan II itu hanyalah simbol, toh kami akan berjalan seimbang, tinggal bagaimana menagemennya. Menurut kami ini adalah skenario Allah SWT, sehingga kami dipasangkan menjadi PPMI I dan II.

Bagaimana visi dan misi anda berdua secara umum?
Untuk visi, kita menginginkan Masisir yang berkarakter Azhari,  komunikatif dan harmoni, karena al-Azhar adalah kiblat keilmuan kita. Untuk misi, sebenarnya adalah penjabaran dari visi tersebut, kita ingin memfungsikan PPMI untuk benar-benar menjadi media pembentukkan karakter Masisir dan menghubungkan Masisir dengan Al-Azhar. Kami hanyalah perpanjangan tangan dari Al-Azhar, semua berpusat di sana. Jadi semua dinamika yang ada di Masisir, akan kita arahkan kembali lagi ke manhaj Azhari yang moderat.
Yang kedua, untuk memaksimalkan peran PPMI sebagai mitra yang baik bagi intra PPMI, intra di sini seperti MPA, Kekeluargaan, Almamater dll. Juga terhadap Al-Azhar secara struktual, KBRI, PPI dunia lainnya. Jadi intinya kita ingin memaksimalkan peran PPMI dari intra, mitra dan ekstra mitra PPMI.
Yang ke tiga, kami ingin fungsi PPMI sebagai pelayan masyarakat itu benar-benar dirasakan oleh seluruh elemen, bukan sebagai pejabat.

Banyaknya jumlah masisir, tentunya juga akan menghadirkan permasalahan-permasalahan yang kompleks, sudahkah anda-anda membaca peta permasalahan tersebut? Bagaimana mengatasinya?
Hadirnya kami di sini bukan tanpa persiapan. Ini hasil perjalanan panjang, dari shalat istikhoroh dan pembacaan apakah kami sanggup menanggung itu semua. Dari pembacaan pemetaan yang ada, jangankan semasisir, dalam satu rumah pun ada masalah-masalah itu. Disinilah adanya visi kami: komunikatif. Perbedaan itu wajar, namun (yang penting) bagaimana kita mengahadapi perbedaan itu agar tujuan akhir harmoni itu tercapai. Kita juga akan mendekatkan diri kepada kawan-kawan sekaligus meminta masukan, kritikan dan saran dari mereka, jadi kami bukan PPMI yang eksklusif. Sekali lagi kami bukan pejabat, kami hanya ingin belajar melayani masyarakat.

Menurut anda berdua, kira-kira apa saja kekurangan-kekurangnya yang ada  di Masisir secara umum?
Manusia itu tidak ada yang sempurna. Sebenarnya bukan kekurangan hanya saja belum sempurna. Kita disini menuntut ilmu di al-Azhar Mesir, tapi terkadang kita lupa akan kebutuhan yang kita butuhkan ketika di Indonesia, contohnya komputerisasi, tulis-menulis dan belajar bermasyarakat. Masisir juga mempunyai kecenderungan masing-masing, seharusnya bisa menyeimbangkan antara organisasi dan belajar.
Setelah melihat ketidaksempurnaan Masisir, dimulai dari kami berdua akan instropeksi diri, membenahi intra PPMI, baru kemudian bisa memberi contoh kepada Masisir.

Seperti yang telah diketahui, tahun ini Masisir mempunyai relasi yang baik dengan al-Azhar, lalu bagaimana dengan relasi Masisir dengan Indonesia sendiri?
Relasi kita dengan Indonesia cukup baik, namun tidak semua orang tahukarena belum merasakannya. Tahun lalu kita mempelopori adanya Semesta manulis, dari sini kita juga mencoba membangun relasi dengan Republika, penerbit Alif dan RRI, inilah wujud relasi kita dengan Indonesia, yaitu relasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Maka fungsi PPMI disini sangat penting agar Indonesia bisa merasakan relasi tersebut. Sebenarnya dari seluruh PPI di dunia, PPI Mesirlah yang dipandang baik oleh Indonesia.
Sebenarnya saya (Hujaj) termasuk orang yang ketinggalan dalam tulis-menulis, tapi saya percaya diri untuk mengirimkannya ke penerbit dan Alhamdulillah layak untuk diterbitkan di Indonesia. Dari sini masih banyak masisir yang kurang percaya diri bahwa dirinya mampu, maka saya akan berusaha mengajak masisir lebih percaya diri agar bisa Indonesia bisa lebih merasakan realisasi kita.

Sejauh manakan keyakinan anda berdua untuk menang?
Seluruh masisir memiliki latar belakang yang berbeda, ada yang dari pondok salaf dan modern, sama seperti kami,karena lembaga pendidikan di Indonesia hanya dua itu saja. Kami optimis kawan-kawan akan memilih kami, tapi kami tetap tawakal kepada Allah apapun hasilnya, itu yang terbaik. (Hujaj)
Ketika sudah mengeluarkan seluruh tenaga, fikiran bahkan harta, kita pantas untuk optimis karena telah berusaha optimal, tapi jika usaha kita setengah-setengah, pantaskah kita optimis? (Agus)

Apabila telah berusaha optimal tapi takdir berkata lain, legowokah?
Menjadi presiden PPMI merupakan sebuah amanat yang besar, kalau kami terpilih Alhamdulillah, kalupun tidak tetap besyukur, karena ketika mendapatkan kenikamatan kita wajib mensyukurinya, tapi jika mendapatkan musibah kita wajib mensyukurinya dengan bersabar. Kami tidak tahu itu merupakan sebuah kenikmatan atau cobaan, hanya Allah lah yang tahu. Lalu siapapun yang akan terpilih nanti, kami akan tetap mendukung dan bekerja sama.

Ketika terpilih menjadi PPMI I dan II, apakah bisnis tempe alif tetap berjalan?
Sampai detik ini tempe alif tetap bejalan. Ketika Allah memberi amanah PPMI ini kepada kami, tempe alif pun akan tetap berjalan dan melayani masisir, karena alhamdulillah saya sudah mempunyai karyawan. Saya ingin mengutip kata Robert T. Kiyosaki, bahwa pengusaha sukses itu adalah ketika bisnisnya tetap berjalan, dan orangnya bisa jalan-jalan. Jadi ketika kita dapat amanah, Tempe Alif tetap berjalan, dan kita tetap bekerja melayani. (Redaktur: Fahmi/Icha)
Read More..

Senin, 04 Agustus 2014

Rindu


Rindu
Oleh: ‘ainfathah

Aku rindu pemimpin yang jujur
Jika hatinya lembut
Semoga jiwanya seteguh Abu Bakar

Aku rindu pemimpin yang adil
Jika wataknya keras
Semoga hatinya sepengasih Umar

Aku rindu pemimpin yang bijaksana
Jika sifatnya pemalu
Semoga hatinya sepemurah Usman

Aku rindu pemimpin yang teguh
Jika Ia pemberani
Semoga jiwanya seperiang Sayyidina Ali

Aku rindu pemimpin yang berkoalisi
Dengan Al-Quran dan Hadist Sang Nabi
Jika memutuskan perkara
Mengutamakan kebaikan dunia dan kehalalan ukhrawi

Aku rindu pemimpin yang mendurhakai nafsunya
Yang berdiri
Di garis depan kebenaran

Cairo, 03-08-2014
Read More..

Kamis, 31 Juli 2014

Sekali Lagi Tentang; Malu

Aku malu pada cicak-cicak di dinding itu.
Juga pada burung-burung yang terbang di langit senja itu.
Dengan segala kekurangannya.
Mereka berjuang, keluar sarang mencari makan.

Pantang bgi mereka mengaku miskin.
apalagi memalsukan surat.
hanya untuk mendapatkan THR, BLT atau apalah.
mereka tak mengerti.

mereka hanya percaya
dengan keyakinan utuh
bahwa tugas mereka hanya berusaha
tentang rezeki dan keberlimpahan
itu tentang kebaikan Tuhan

"Aku percaya" ujar burung, "sebaik-baik makhluk adalah manusia."
sedang sebaik manusia adalah orang yang mengemis di langit
bermanis muka di bumi
tak seorang pun yang tahu betapa pelik permasalahannya
kecuali Dia yang memang Maha Tahu.

Menyambut Senyuman Langit, 31-07-2014, 19.45
Read More..

Selasa, 22 Juli 2014

Tiga Matahari


Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai,  orang-orang bak bebek yang berbaris rapi mengular hingga ruang penjemputan. Aku keluar dengan hati yang penuh sesak, sepuluh tahun sudah. Ya, sepuluh tahun sudah aku tak menginjakkan kaki di Indonesia. Mataku berkaca-kaca, perasaan yang ada di dalam dadaku tidak dapat diterjemahkan dengan kata sebab kata hanya akan mempersempit makna.

Kabut  dingin membungkus lembut bandara dan sekitarnya.
Aku keluar bandara sambil menarik koper dan tas ranselku. Di luar, temanku Burtuqal sudah menungguku, dia melambai-lambaikan tangan seakan mengisyaratkan, hei Mi, aku di sini. Aku bergegas menuju temanku itu, seketika dia menghambur dan memelukku erat-erat. Kami haru, menangis.

“Gila Bro!, sepuluh tahun nggak pulang-pulang, nggak kangen lho sama gue?” Burtuqal melepaskan pelukan sambil mendorong bahuku, kami tertawa.
“Isy isy isy… sepuluh tahun kutinggalkan gaya bahasamu masih alay seperti itu?” aku menggeleng-gelengkan kepala, gagal paham.

Kami tertawa. Semacam ada kode dan kata sandi yang apabila diucapkan membuat kami langsung paham dan ingat masa lalu persahabatan kami. 15 menit berlalu, rintik-rintik kangen sudah mulai reda. Aku sudah menguasai keadaan.

“Ayo kita langsung pulang, kamu pasti kelelahan 12 jam di pesawat”
“Naik apa?”
“Udah, gampang itu, aku udah nyewa mobil kok”
“Oke”.
Pukul 4 pagi, mobil yang kami kendarai membelah sunyi malam Jakarta. Mobil sedan itu melaju, belok kiri, melewati tol dengan gagah menerobos kabut pagi, berbelok ke kiri lagi hingga sampai ke tempat tujuan. Kami hanya berdiam sepanjang perjalanan, aku lelah.

***
“Assalamu’alaikum, Ical, kamu sibuk nggak hari ini?  Aku ingin memperbaharui KTP-ku, 5 tahun yang lalu masa berlakunya habis.”
“Oke, nanti jam 8 aku jemput ke rumahmu.”
“Makasih, Cal, aku sudah lama tidak di Indonesia jadi sudah lupa dan sungkan berurusan dengan petugas KTP,” aku menutup telepon.

Aku merebahkan tubuhku di kasur, rasa lelah masih setia menemaniku. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku sebelum dijemput Burtuqal jam 8 nanti. Suara motor cukup bising di luar sana. Mataku terasa berat, ingin terlelap.

“Tok… Tok… Tok,” kudengar ada suara mengetuk pintu.
“Tok…Tok..Tok…Tototok…,” suara itu semakin mengeras, tidak berhenti memukul daun pintu.  Aku bergegas keluar, mukaku tiba-tiba memerah, gigiku bergemeretak, jika ada 10 level tingkat kemarahan, kemarahanku saat itu sudah mencapai level 10. Orang mau istirahat diganggu, mengetuk pintu tak tahu sopan santunnya pula.

Daun pintu kubuka, hampir saja orang yang mengetuk pintu itu  menepuk jidatku untungnya aku sigap menghindar bagai kodok yang meloncat dengan cepat. Dua orang berdiri di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tertegun menatap lamat-lamat sosok lelaki yang berdiri di depanku, mataku menyapu bersih dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Di sampingnya seorang perempuan berdiri anggun menghadap ke jalan raya, membelakangiku.

“Siapa lelaki berambut ikal dan berkulit kuning langsat ini? Dan perempuan itu…” aku melamun.
“Mi…” lelaki itu berteriak  seraya menghambur ingin memelukku. Aku tentu saja menghindar, bisa-bisanya orang yang mau kuterkam, kumarahi habis-habisan, eh seenaknya ingin memelukku. Dia heran. Aku heran. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.

“Thomatim? Hei, aku hampir saja lupa rupamu” kami akhirnya berpelukan erat.
“Hampir lupa? Kau bahkan sudah benar-benar lupa Mi,” ujarnya masih terbahak-bahak.
“Sepuluh tahun tak bertemu, kamu berubah 360 derajat, dulu kamu tuh hitam, pendek, ikal, dekil lagi, eh sekarang udah kayak pejabat aja.” Aku masih tidak percaya bertemu dengan Thomatim, teman SMA-ku sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar Mi, saya punya kejutan buat kamu,” Thomatim memanggil perempuan yang dari tadi hanya melihat kendaran berlalu-lalang, tak sedikitpun menghiraukan kami.

Perempuan itu, oi, tubuhnya tinggi semampai, kerudungnya panjang menjuntai, aku kenal betul dengan perempuan itu, Mazbalah, si bunga desa, pujaan semua lelaki, dia adik kelasku waktu SMA dulu. Tak ada lelaki yang tidak tertarik dengannya, termasuk aku. Demi melihatnya tersenyum, aku sampai lupa mempersilakan mereka untuk duduk.

“Ayo masuk, silakan duduk,” ujarku setelah menguasai keadaan.
Kami mengobrol santai, bercanda, sesekali aku menceritakan kesibukanku kuliah di luar negeri, hingga Mazbalah mengeluarkan kata-kata itu, kata awal yang akan kuingat hingga akhir hayatku.

“Kakak sepuluh tahun di luar negeri makin ganteng deh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kamu juga,” ujarku tersipu.
“Hei, Kak! Sepuluh tahun tidak berjumpa kakak, aku tetap perempuan lho,” dia tidak terima.
Aku tersenyum. Dia tersenyum, kali ini terlihat lebih ikhlas.
“Masih rajin nulis di blog?”
“Iya, Udah nerbitin buku malah. Alhamdulillah semua best seller.”
“Wah, sudah mapan dong, sudah saatnya nikah,” Thomatim tiba-tiba memotong pembicaraan kami, “aku saja sudah nikah,” ujarnya bangga.
“Dengan siapa?” Aku heran, perasaan tidak pernah dia memberi kabar.
“Itu, dengan perempuan yang di depanmu,” ujarnya santai.

Aku meneguk ludah, berusaha tak percaya. Badanku lemas seketika. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, alam sekitar mengisyaratkan kalau aku pulang ke Indonesia maka aku akan bahagia. Tapi inilah yang terjadi, faktanya Thomatim memang telah menikah dengan Mazbalah, cincin pernikahan mereka kokoh melekat di jari masing-masing. Oi, puisi-puisi yang kutulis, surat-surat tak sampai yang kukarang, buku-buku yang kuterbitkan, andai kau tau itu semua untukmu, Mazbalah. Ah, ranting kelapa kini patahlah sudah, perasaan yang kupendam bertahun-tahun kini tak akan bertemu muaranya. Aku tak semangat lagi meneruskan canda dengan mereka, hatiku patah, berlipat-lipat.

“Kamu itu sudah 28 tahun lho, Mi, apalagi yang kamu tunggu?” semangat betul Thomatim mengompori aku agar segera menikah, untung saja Burtuqal datang di saat yang tepat. Aku selamat dari bully mereka.

***
“Mau ke mana kita bos?” Burtuqal nyengir dengan air muka santainya, masih saja dia suka memanggil aku dengan sebutan bos, selera humornya masih tetap seperti dulu, tidak berubah.
“Kita ke kantor kelurahan dulu, aku mau memperbaharui KTP.” kataku mantap

Kami berempat akhirnya menuju kantor kelurahan menggunakan mobil yang disewa Burtuqal, aku duduk di depan di samping Burtuqal yang asik menyetir, kursi di belakang diduduki Thomatim dan istrinya, siapa? Istrinya? Ah, sakit sekali hatiku menyebutnya.

Mobil kami terus melaju melewati gang-gang kecil, membelah perumahan, hingga akhirnya sampai ke kelurahan. 

“Sudah sampai,” Burtuqal mengisyaratkan.
“Kenapa tidak turun?” aku balik bertanya, “temenin aku dong.”
“Sudah 28 tahun masih minta temenin bikin KTP?” Thomatim sengaja betul menyindir usiaku, belum puas nampaknya dia menyakitiku. Tunggu saja pembalasanku.

Aku keluar mobil dengan muka masam, kesal, berjalan gontai menuju kantor kelurahan. Tiba-tiba seorang perempuan menyapaku, senyumnya manis. Setidaknya cukup untuk mengobati kekecewaanku terhadap dua sahabatku itu. Apa? Sahabat? Bahkan mereka selalu mengerjaiku.

Aku dikasih nomor urut dan air mineral untuk menunggu giliran. Tiga menit, tiba giliranku. Aku disapa dengan senyum, petugasnya bekerja dengan gesit, tidak lelet apalagi berlama-lama. Semua petugas sibuk melayani tidak internetan apalagi membuka Facebook. 15 menit, selesai.

“ini Pak, sebagai terima kasih,” Aku menyodorkan uang seratus ribuan.
“Maaf Pak, kami tidak menerima uang tips,”
“Hah? Tapi ini hanya tanda terima kasih karena dilayani dengan baik,” aku protes.
“Maaf Pak, sudah tugas kami melayani dengan baik, sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih berhak.”
Whattt???”

Aku seperti bermimpi, sepuluh tahun yang lalu, ketika mengurus surat pengantar  nikah untuk kakakku bahkan petugasnya meminta uang 50 ribu. Kalau tidak diberi, maka surat pengantar nikahnya juga tidak diberi. Kan nggak lucu gagal nikah gara-gara tidak ada surat pengantar?

Aku berjalan kembali menuju mobil, kali ini emosiku sudah stabil.
“gimana? Mudahkan?” Thomatim menggodaku. Aku hanya diam, tidak menghiraukannya.
“Kita keliling-keliling Jakarta dulu, sudah lama kan tidak melihat keindahan Jakarta?” Burtuqal masih serius dengan setirnya.
“Eh, kalau ngajak bercanda jangan berlebihan, hari libur gini mau keliling Jakarta, mending tidur di rumah, lebih sejuk,” aku menolak ajakan tidak masuk akal Burtuqal.
“Kak Haromi kan sudah lama tidak melihat Jakarta, sekali-sekalilah kita keliling Jakarta bersama-sama seperti sepuluh tahun dulu,” suara itu, oi, sakit sekali hatiku mendengar Mazbalah berbicara, aku kembali teringat pernikahan mereka.

Aku terdiam, menunduk menekuri ujung kaki, buru-buru kubuang niat burukku pada kedua sahabatku, aku ingat kata nenek dulu, “salah satu syarat mutlak agar kau bahagia adalah, kau bahagia dan (memang) berbahagia melihat orang lain (teman, saudara bahkan musuh) hidup lebih beruntung. Bukan malah dengki, apalagi kepada teman sendiri, oi, itu jahat sekali.”  

Mobil kami menerobos membelah gagahnya gedung-gedung Jakarta, aku melirik kiri-kanan, bersih, tidak ada sampah. Bahkan ketika lampu merah, aku melihat motor mengantri tertib di belakang mobil, padahal celah lebar ada di depannya.

“Kenapa? Bingung?” Burtuqal seperti paham raut wajahku, “Jakarta sekarang bahkan tidak perlu polisi lalu lintas lagi, semua orang dengan senang hati mentaati ketertiban.” Burtuqal panjang lebar menjelaskan. Aku mengangguk pura-pura percaya. 

Benar saja, memang sepanjang jalan tak ada polisi dan tak ada pelanggaran. Aku melongo tak percaya. Sepuluh tahun yang lalu bahkan banyak yang parkir sembarangan, melawan arus, membuat kebisingan dengan memencet klakson. Sekarang? Oi, aku menepuk jidat memastikan bahwa tidak sedang bermimpi.

Kami kini tepat melintasi sebuah jembatan di atas sungai Ciliwung. Angin sejuk menerpa wajah, kami sengaja membuka jendela mobil, sebab udara alami sungguh lebih sehat daripada AC. Dan lagi-lagi saya tertegun, tidak ada polusi udara.

“Eh, sejak kapan anak-anak mandi dan bermain di kali Ciliwung yang nampak berbeda? Kita harus turun,” kali ini aku memaksa mereka semua untuk turun.
Kami tiba di tepi kali, menikmati sejuknya angin tepian sungai. Ciliwung benar-benar bersih.
“Eh, ada Pak Gubernur…” seorang anak berlari diikuti anak-anak yang lain, juga sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka antri menyalami Thomatim.
“Eh???” aku bingung.
“Tidak usah bingung,” Burtuqal menepuk bahuku, “4 tahun yang lalu Thomatim terpilih menjadi gubernur Jakarta.”
“Dan Burtuqal kutunjuk sebagai kontraktor,” ujar Thomatim nyengir sambil merangkul istrinya, “Kau lihatkan hasil kerjanya selama 4 tahun? Menakjubkan bukan?” mereka tersenyum.

Saya menggigit-gigit wortel tidak percaya dengan yang saya lihat. Pertanyaannya: 'dari mana saya dapat wortel?'

***
 “Sungguh benar ujar pepatah bijak dahulu, semua akan berubah, alam akan berubah, bumi akan berubah, air laut akan berkurang atau bertambah, gunung akan meletus atau runtuh, hanya satu yang tidak akan berubah, apakah itu? perubahan itu sendiri”
Read More..

Sabtu, 12 Juli 2014

A-Rindu


Di jendela yang menjadi tempat nongkrong favoritku, tempat untuk mengintip bintang yang malu-malu, tempat untuk melihat angkuhnya pameran langit Kairo, atau sekedar tempat untuk merayakan sepi dengan secangkir kopi. Belakangan, dari tempat ini bintang tak tampak lagi, langit hanya gelap dan aku hanya terdiam senyap.

Ada yang kurang. Seperti ada potongan cerita yang hilang. Atau terhapus. Kondisi sekitar menyiratkan bahwa harusnya tidak berakhir begini. Tapi, inilah yang terjadi. Harus ada yang terluka, biarlah itu aku sendiri.

Belakangan, aku tahu nama luka itu. Orang-orang menyebutnya rindu. Bila kata Elly Risma narkotika dapat berusak tiga bagian otak. Fornografi bisa merusak lima bagian otak. Maka rindu padamu merusak semuanya, bukan cuma otak.

Katamu rindu itu penyakit, maka sekarang aku terjangkit. Tapi kamu tak perlu repot untuk mencari obatnya. sebab aku tak mau sembuh.

Kini aku dan kamu sama-sama sadar, bahwa rindu adalah anugrah yang besar. Kita tak perlu bayar untuk merindu. Tak perlu uang, juga tak perlu berlian. Kita hanya perlu membangun lilin kepercayaan, menopangnya dengan sedikit keteguhan, dan menyalakannya dengan api semangat. Menjaganya dengan cinta agar rindu tetap hidup. Tak akan redup. Hingga mata benar-benar terkatup. 
Read More..

Kamis, 10 Juli 2014

Mendoakan Palestina


Gelisah. Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya gelisah, galau. Baik karena kesalahan yang diperbuat, perdagan yang dikhawatirkan, masa depan yang belum jelas, atau apapun yang membuat kedamaian hati terusik. Gelisah.

Kegelisahan kita kali ini tentang Gaza, kota Ummat Islam yang ingin direbut pakasa oleh Israil, yang katanya ‘tanah yang dijanjikan’.  Segala cara mereka lakukan, segala tipudaya mereka upayakan, meski dengan berperang bahkan dengan membunuh sekalipun.  Untuk merebut gaza dari tangan Ummat Islam.

Dunia mengutuk. orang-orang yang ‘punya hati’ menyumpah. Sebab, “muslim yang satu dengan muslim yang lain adalah serupa anggota badan. Satu yang disakiti, semua akan merasakan.” Lantas kita berdoa sebagai simpati dan empati terhadap kaum Muslim yang diserang habis habisan oleh Israil.

Kita mendoakan kemengan dan kemerdekaan untuk Palestina, tak lupa kita mendoakan kaum kafir dan yahudi  agar dihancurkan dan dibinasakan. Salahkah? Sepintas tak ada yang terlihat salah. Tapi coba kita perhatikan baik-baik, jika kita berdoa agar Allah membinasakan kaum kafir, Lalu Allah mengabulkannya, mereka semua binasa. Lalu, apa kira-kira tempat mereka (orang-orang kafir) itu setelah mereka dibinasakan? Yang kita yakini, sebaik-baik tempat mereka adalah neraka. Lalu muncul pertanyaan berikutnya, kemana Setan ingin menjerumuskan manusia? Jawabnya juga Neraka. Lalu apa bedanya kita dengan Setan jika sama-sama menjerumuskan mereka ke dalam Neraka?

Apakah kita lupa hadis Rasulullah, ketika ada mayat Yahudi lewat dihadapan Nabi lalu Nabi menangis? Ditanyalah Nabi, Apa yang membuatmu menangis wahai Rasulullah? “Telah lolos dariku satu jiwa dan ia masuk neraka.” Coba kita perhatikan perbedaan kita dengan Rasulullah yang berusaha member petunjuk kepada manusia dan menjauhkan mereka dari api neraka.

Kita harus ingat, bahwa penduduk terbesar bumi adalah orang-orang kafir. Kita juga harus ingat bahwa menjadi jalan hidayah bagi seseorang adalah amal jariah yang terus mengalir tiada akhir, maka alangkah baiknya jika kita berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada orang-orang kafir tersebut. Maka dengan berislamnya mereka terang benderanglah dunia.  Sebagaimana Rasulullah ketika dimusuhi habis-habisan oleh ‘dua Umar’, beliau justru berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada ‘Dua Umar’. Maka terang benderanglah Islam setelah Allah memberikan hidayah kepada sosok pemberani, Umar bin Khatttab.

Kita tahu, serangan  yang dilancarkan Israil terhadap palestina adalah tindakan Barbar dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum Internasional. Terhadap semua itu, harusnya tidak membuat hati kita keruh dan turut menjadi orang barbar dengan mendoakan kehancuran dan kebinasaan kepada mereka. Kita memang wajib membenci kezaliman, tapi kita tidak berhak sedikitpun membenci orang yang zhalim. Bencilah kezaliman, jangan benci orangnya. Bencilah ketidakadilan, jangan hina orangnya. Sebab Islam adalah rahmatan Lil Alamin. Dan muslim adalah orang yang apabila orang lain selamat dari mudharat lisan dan tangannya.
#PrayForGaza.
Read More..

Minggu, 06 Juli 2014

All About July


Semua orang lahir dari rahim seorang perempuan bukan? Tentu saja ini hanya pertanyaan retorika. Semua orang akan menjawab dengan mengangguk iya. Tapi lain jawaban jika pertanyaan itu dilontarkan kepadaku, maka jawabannya adalah tidak. Aku berbeda. Aku dilahirkan dari rahim seorang malaikat. Bagiku, ibu adalah malaikat.

Di hari-hari sekira 20 tahun yang lalu, mungkin aku hanyalah seonggok calon bayi yang makan dan bertahan hidup melalui plasenta. Kemudian di suatu sore ditahun yang sama, aku dikeluarkan dari rahim ibuku dibantu oleh seorang bidan kampung, dulu disebut dukun beranak. Aku menghirup udara untuk pertama kalinya tanpa bantuan plasenta, juga melihat cahaya dan berteriak untuk pertama kalinya.

Kabarnya, penduduk kampung geger. Orang-orang heboh membicarakan kelahiranku. Selepas maghrib, mereka berbondong-bondong menjengukku. Bapak-bapak membawa obor yang terbuat dari bambu. Anak-anak meniup terompet sebagian lagi menyalakan kembang api. Para pemuda menabuh bedug sepanjang perjalanan. Ibu-ibu menyayikan lagu perjuangan menyambut kemenangan. Bahasa singkatnya, mereka membuat gaduh alias berisik.
Mereka tampak suka ria mendengar kabar ini. kelahiran seorang anak yang menurut dukun-dukun kampung adalah penyelamat dari paceklik dan kekeringan akibat kemarau panjang, juga sebagai pahlawan yang membela tanah air  akan mengusir penjajah dari tanah bumi pertiwi.

Kabar ini cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Presiden yang mendengar kabar ini lantas mengumpulkan kabinet-kabinetnya, mengadakan rapat mendaddak, mereka tak mau ketinggalan ikut ambil bagian merayakan momen bahagia ini. Setengah jam kemudian, setelah semua peserta rapat setuju, Pak Presiden memutuskan bahwa tepat di hari kelahiranku itu, 23 juli, ditetapkan sebagai hari anak nasional.  

Ternyata tidak hanya di negeri ini kabar kelahiranku disambut gagap gempita, di negeri tiongkok sana, mereka juga merayakan kelahiranku. Mereka percaya akulah anak yang ditunggu itu, yang menurut Zhuge Liang adalah anak yang mampu menyatukan kembali Negara iar, api, udara dan tanah, serta mampu menaklukkan alien yang akan menyerang bumi. Seluruh bumi gagap gempita menyambut kelahiranku.

Cukup. Jangan terlalu serius membacanya, nanti tambah bingung. Percayalah, aku sangat meragukan kepekaan dan kemampuan intelektualitas anda kalau anda mempercayai 4 paragrap di atas. Bukankah Indonesia sudah merdeka sejak 1945? Dan peceklik panjang di Indonesia terjadi tahun 1997? Oi, saya sangat meragukan pengetahuan anda tentang sejarah kalau anda mempercayai cerita saya di atas.  Atau jangan-jangan kalianlah orang-orang yang mencontek saat Ujian Nasional sehingga sejarah Indonesia merdeka saja tidak tahu? Ups, sudah dapat dosa berbohong, aku malah su’udzhon pula. Hiskss…

Satu-satunya kebenaran dari 5 paragrap di atas adalah 23 juli yang ditetapkan sebagai hari anak nasional. Sedang Zhuge Liang dia bukanlah peramal, dia adalah ahli strategi perang dari Negeri Tiongkok, dan tidak ada hubunghannya dengan Mama  Lauren apalagi Ki Joko Bodo. Jadi anda hanya buang-buang waktu membaca 5 paragrap tidak penting di atas. Hehehe…

20 tahun kemudian.

Anak yang dulu dielu-elukan itu. Anak yang dulu jadi kebanggan seluruh penduduk kampung itu, adalah orang yang menulis cerita ngawur ini. Sekarang ia berperang melawan kebodohan seraya belajar menulis. Sebab ia percaya, sebuah buku sungguh mampu menggugah jiwa, mengubah dunia. Maka ia bertekat untuk mengembalikan harapan penduduk kampung. Menjadi pahlawan yang akan mengusir dan membabat habis kebodohan. Hehehe… Ngakk ada hubungannya ya? Kita memang tidak sedang membahas hubungan bukan? Bukankah kita sudah putus bertahun tahun yang lalu?. Sudah berkali-kali aku bilang, aku tidak mau pacaran. Pacaran itu dosa. Tapi kamu tetap saja maksa. Lho? Kok jadi bahas itu? Tau ah…
Read More..

Sabtu, 05 Juli 2014

Jarak


Kita telah belajar banyak hal dari spasi, bahwa hadirnya jarak mengajarkan banyak makna. Malam itu engkau mengirim pesan kepadaku; “kenapa hadirnya jarak hanya membuat hati semakin sesak?”. Aku tersenyum menjawab: “bukankah jarak dicipta agar kita dapat bergerak, meraih cita sebanyak yang dikehendak?”

Namun rasanya aku terlalu naïf bila merayakan keterpisahan ini. Saat detik-detik hanya bisa bicara pada udara, saat menit-menit hanya bisa menatap bintang yang angkuh di angkasa. Saat jam, hari, minggu, bulan silih berganti merajut masa. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengakui rindu yang mendera.

Tapi bukankah kita berjanji untuk bersabar? Maka sabar itu akan mendekatkan yang jauh,  memudahkan yang berat, mempersingkat yang lama dan tentu saja akan merapatkan yang berjarak. Percayalah

Kelak, aku akan menjemputmu di taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin tak ada monumen cinta apalagi mahkota raja, juga tak ada patung-patung artistik apalagi kursi yang penuh manik-manik, juga tak ada air mancur atau hiasan apa saja.  Tapi kehadiranmu sungguh telah memperindah semuanya.
Read More..

Sabtu, 28 Juni 2014

Serial Optimisme IV : Mama & Abah

Terimakasih kuhaturkan kepada suhu panas Kairo yang membuatku sulit untuk tertidur, juga tak lupa, terimakasihku kepada kepinding yang sukses membangunkanku satu jam setengah kemudian. Kalian berdua seakan berteriak, “hei ini bulan ramadhan, tak pantas tidur banyak-banyak.” “hei kamu itu di sini untuk menuntut ilmu atau untuk tidur sih?”

Aduhai, kata-katamu sungguh menggores hatiku. Aku yang tak tahu diri, aku yang banyak malasnya, aku yang menjalani hidup semaunya. Aku lupa bahwa di seberang samudera sana, ada sosok sederhana yang entah bagaimana caranya selalu memastikan hidupku terjamin disini.

Aku lalai bahwa di pulau Kalimantan sana ada sosok bidadari yang tak henti-hentinya berdoa untuk kebaikan anaknya. Aku lalai bahwa kalian berdua, mama dan abah, selalu harap-harap cemas untuk kemajuan studiku.

Aku lupa bahwa mungkin demi kuliahku, banyak airmata yang harus dikorbankan. Banyak darah yang harus diteteskan. Banyak keringat yang harus dikuras bercucuran. Banyak tabungan yang harus di pecahkan, bahkan, jika tak cukup lagi kalian sanggup berhutang. Demi kuliahku.

Sedang aku di sini, tidak seperti yang kalian duga, tidak seperti yang kalian harap. Tapi, aku berjanji tidak akan membuat kalian kecewa. Aku akan meyakinkan kalian bahwa kalian tidak salah pilih mendukung keinginanku untuk belajar di sini. Mak, Bah, suatu saat, aku ingin mengajak kalian ke sini, tentunya dari hasil jerih payahku.

Setidaknya, perjuangan kalian sudah dicatat sebagai kebaikan. Kalian tahu, Bah, Ma? Bahwa tanda-tanda diterimanya kebaikan adalah kebaikan-kebaikan yang datang berikutnya. Maka percayalah, tidak ada yang sia-sia, kebaikan kalian pasti akan menuntun ke surga. Sebagai pembela di hari tiada guna anak dan harta.

Oh ya, maaf, ramadhan ini aku belum bisa pulang. Tapi aku selalu ingat nashihat kalian, bahwa bukan jarak yang memisahkan dua jiwa, tapi doa yang tak saling terlantun. Aku percaya, setiap malam kalian mendoakanku. Bahkan setiap nafas kalian sebenarnya adalah bahasa lain dari doa. Aku percaya.
Terimakasih untuk segala. Mama & Abah, Aku mencintai kalian, sungguh. Itu sebabnya aku tak ingin kalian kecewa. Aku akan belajar sungguh-sungguh, seperti kalian yang bersungguh-sungguh untuk menafkahiku, meskipun aku sudah dewasa.
Read More..

Serial Ramadhan I : Awal bulan




“Kenikmatan terbesar kedua setelah nikmat iman dan islam,” ujar Ustadz Aep Saepulloh suatu ketika, “adalah nikmatnya menjadi Mahasiswa Al-Azhar Mesir.” Tinggal di tanah bersejarah warisan para nabi. Mandi dengan air yang diambil dari salah satu mata air surga, Nil. Tidak cukup? Setiap hari kau bisa melihat senyum-senyum ulama yang bersahaja. Itu sungguh sangat indah, menentramkan.

Andai bukan mahasiswa Al-Azhar, mungkin malam itu kami tidak bisa menghadiri acara penetapan satu ramadhan yang dihadiri oleh ratusan ulama, pembesar, pemuka Mesir dan mahasiswa asing. Mulai dari Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. DR. A. Thayyib, Mufti Mesir, Prof. Dr. Syauqi Allam, Prof. Dr. Ali Gomma, Prof. Dr. Nasr Farid Washil, mentri Agama, Prof. Dr. Mukhtar Gomma, dan Puluhan ulama besar lain turut serta dalam acara tersebut.

Acara yang ditayangkan langsung oleh beberapa stasiun televisi itu dibuka oleh pembawa acara dengan sebuah syair, “Langit dan bumi, binatang dan tumbuhan, siang dan malam, lautan dan daratan, semua makhluk Allah memohonkan ampunan terhadap manusia pada awal bulan puasa.” Kurang lebih begitu maknanya.

Nafasku terhenti mendengar kata-kata itu, aduhai, betapa lalainya aku dari jalan tuntunan-Nya, menikung jauh, mundur, kadang, bahkan terperosok ke dalam jurang. Aku malu. Pada daun-daun, yang setia memuji tuhannya. Pada angin, yang ikhlas mematuhi titah tuhannya. Pada malaikat yang tak pernah sekali pun bermaksiat. Aku malu.

Sang Qari’ kemudian membacakan ayat Al-quran sebagai pembuka acara. Bacaan itu, sungguh membuat mataku berkaca-kaca. Meskipun aku ‘pernah’ berpura-pura merindukan ramadhan, tapi janji Allah tetaplah pasti. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertannya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu dalam kebenaran.”

Allah menjanjikan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya sebagai balasan. Tapi aku seakan berteriak, ‘Aku bukan hambamu’, sebab aku berani menentang titah-Mu. Aduhai, ya Rabb, ampuni kelancanganku. Engkau selalu memberikan yang kucintai, bahkan tanpa kuminta. Tapi aku, justru menghidangkan hal-hal yang Kau benci, lalu, layakkah lagi aku meminta?

“Ramadhan di tunda”, benakku dalam hati, ketika mufti Mesir mengumumkan hasil ru’yatul hilal berdasarkan ru’yah mata dan ru’yah ilmu, Falak. Bahwa 1 ramadhan jatuh pada hari ahad 29 juni 2014.

Pada akhirnya, setiap orang harus menangisi kepura-puraannya. sebab, "Katakanlah, "jika kamu sembunyikan atau kamu nyatakan, apa yang ada dalam hatimu, Allah pasti mengetahuinya." Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah maha kuasa atas segala sesuatu."

Taman langit, 28 Juni 2014

Read More..

Selasa, 24 Juni 2014

MAHASISWA


Aku tahu kata orang itu susah
Pun aku tahu di tangan Allah semua mudah
Aku juga mendengar kata mereka
 Yang memilih itu harus bersiap kecewa

Aku juga membaca kata-kata pilihan
Betapa setelah kesulitan akan datang dua kemudahan
Aku pun melihat  bahwa malam itu  pekat
Tapi, bukankah itu berarti cahaya pagi segera tiba?

Menjadi Mahasiswa memang harus bersiap lelah
begadang malam membaca goresan-goresan sejarah
Menjadi seorang mahasiswa hanya ada dua pilihan tepat
Menjadi mahasiswa hebat atau yang paling hebat.

Sebab kawan, mungkin demi kuliahmu itu
Banyak keringat perjuangan yang harus diperas
Banyak airmata bercucuran yang harus dibilas
Banyak tenaga dan kekuatan yang  harus dikuras
Banyak uang tabungan yang harus dilepas
Demi kuliahmu itu!.

Maka, bersyukurlah!
Berjuanglah!
Sebab tak semua orang punya kesempatan
Sepertimu.

Taman Langit, 24 Juni 2014
Read More..

Sabtu, 21 Juni 2014

Yang menghina yang dihinaan


Kita orang baik atau Allah yang tutupi aib kita? Jelas sekali kita bukan siapa-siapa, berbuat kebaikan riya, ingin dilihat. Sedang berbuat buruk bangga, merasa hebat. Allahlah yang maha baik berkenan menutupi aib-aib hambanya. Lalu atas hak apa kita memperolok, menjelakkan, menghina orang lain? Bukankah setiap orang lebih unggul dari kita dalam sata hal?

Read More..

Serial Jodoh I : Cicak-cicak di Dinding


Seandainya kau di takdirkan sebagai cicak, maka apa yang akan kau lakukan? Mengeluh, menggerutu, berteriak, “Ya Allah kenapa aku menjadi cicak, pasti Kau salah cetak”.

Sebab cicak adalah makluk dengan kemampuan terbatas, berjalan hanya dengan merayap, hati-hati meniti dinding. Sedang yang di takdirkan sebagai mangsanya, diberi dua sayap, terbang bebas semaunya kesana-kemari. Andai dia berfikir seperti manusia, mungkin dia akan mengadu, “Ya Allah, nelangsa nian nasibku, bagaimana aku bisa hidup kalau begini caranya? Lamban saya bergerak sembari harus tetap berpijak, sedang nyamuk yang lezat itu terbang melintas di atas, bergerak cepat melintas, semaunya tanpa batas.” Sesak nian hati jadi cicak.

Tapi, sebentar dulu, mari kita bernostalgia tentang lagu yang di ajarkan ibu, bapak dan para guru sewaktu kecil dulu, tentang hakikat rezeki dan jodoh, cicak-cicak di dinding.

Benar cicak hanya merayap, diam-diam, berikhitiar sesuai kemampuan. Bukan cicak yang harus  harus terbang, bukan cicak yang harus datang menerjang, tapi, “datang seekor nyamuk”. Allah yang menciptakan menciptakan matahari, maka Allah jualah yang memberinya cahaya. Allah yang menciptakan tubuh maka Allah pula-lah yang memberinya nyawa, pun Allah yang menciptakan manusia maka Dia pulalah yang memberinya jodoh, cinta.

Allah yang mendatangkan rezeki itu. Dibanding ikhtiar cicak yang merayap diam-diam, sungguh perjalanan nyamuk lebih jauh dan berliku. Benar nyamuk terbang bebas, tapi Allah mengarahkannya. Benar jarak dan waktu memisahkan keduanya, tapi kemudian Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Hingga akhirnya, “datang seekor nyamuk, merayap-rayap ditangkap”. Nyam. Keduanya bahagia, nyamuk memenuhi tugasnya, sedang cicak menggenapi rezekinya.

Maka sahabatku, begitu pula jodoh, yang sering membuat kau galau itu. Kita tidak perlu memaksakan cerita, berpacaran. Cukup berikhtiar memperbaiki diri, merayap hati-hati, berpijak di tali agama dengan teliti. Tidak apa ‘jodoh’ kita terbang bebas kemana-mana. Tapi yakinlah, Allah membimbingnya, meskipun terhalang jarak dan waktu maka Allah-lah yang mendekatkan dengan kita sedekat-dekatnya.

Kita sudah bosan rasanya mendengar, si A yang berpacaran dengan B bertahun-tahun, tapi ketika si A menikah ternyata perempuannya orang lain, bukan si B. Atau si C yang mengejar-ngejar si X, eh besok lusa ternyata berlabuhnya ke pelabukan lain. Atau si D yang sudah bertunangan dengan Z bertahun tahun, eh sehari sebelum pernikahan si Z kejatuhan buah mangga akhirnya meninggal, bukan jodoh.

Maka sahabatku, jodoh itu murni rahasia Tuhan. Ia dijadikan hadiah dan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar. Maka kita tidak perlu memaksakan cerita, harus menikah dengan si dia. Cukup bagi kita untuk memperbaiki diri sekeren-kerennya, sebab, jikapun yang dirindukan berlabuh ke hati orang lain, maka kita tetap keren dengan perbaikan yang telah kita lakukan. Bukankah kita ingin menjadi yang terbaik untuk jodoh kita kelak? Nah :D
Read More..

Sabtu, 14 Juni 2014

Serial Optimisme III : Pagi, Air dan Cinta


“Optimisme itu adalah oksigen yang membuat lilin harapan tetap hidup.  Dan kesabaran adalah kekuatan yang menggenggam lilin itu agar tak goyah terhadap goncangan. Sedang hidup matinya api sang lilin ditentukan oleh badai. Badai prasangka. Sejauh mana prasangka baik kita, sejauh itu pula api optimisme terus berkobar menggelora di dalam dada.”

ayam berkokok. Burung-burung mulai menari keluar sarangnya. si raja siang bersiap-siap membagikan senyumnya, Pagi. Bagi petani, pagi adalah semangat baru, harapan baru untuk mendapat rezeki yang banyak dan berkah. Bagi burung-burung, pagi adalah janji tuhan untuk mempertemukannya dengan makanan. Bagi pohon-pohon, pagi adalah kesejukan. Bagi alam pagi adalah keindahan, seperti embun pagi yang tahu, bahwa ia akan lenyap oleh hangatnya mentari, tapi dia tetap bersikukuh memeluk cahaya tuk hadirkan pelangi. Indah.

“Wahai Fatimah, ujar Nabi suatu ketika, bangun dan saksikanlah  rezeki Rabbmu. Karena Allah membagikan rezeki para hamba antara shalat subuh dan terbitnya matahari”. (HR. baihaqi )

Jika pagi adalah harapan, maka air adalah kehidupan. Air, juga adalah lambang semangat dan kesabaran, lihat ketika ia dibendung oleh benteng yang kokoh, ia tidak purus asa. Jika tak bisa melewati, ia berusaha merobohkan, jika tak bisa, ia menyusup pelan-pelan. Masih tak bisa, ia menunggu penuh kesabaran. Hingga teman-temannya datang, mengumpulkan kekuatan dan akhirnya mereka mampu melewati bendungan. Seluas apapun, setinggi apapun, berkat semangat dan kesabaran. Air.

Allah sang penguasa kehidupan berfirman : “dan dari air, kami jadikan sesuatu yang hidup, maka, mengapa mereka tiada jua beriman?”

Jika pagi harapan, air adalah kehidupan maka cinta adalah kebahagian. Pelengkap, penyempurna semangat. Apakah cinta itu menggalaukan? Tentu tidak. Justru cinta adalah energi terbaik untuk menumbuhkan semangat, survive. Sebagai contoh, ketika aku menyukai seseorang karena kebaikannya, aku jatuh cinta padanya, aku bersemangat untuk terus memperbaiki diriku, karena aku tahu, “Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik”.

Setelah seminggu, sebulan, setahun, ternyata orang yang kukagumi itu menikah dengan orang lain. Apakah aku sakit hati? Apakah ternyata cinta itu menyakitkan, mengecewakan? Tentu tidak. Bukan cintanya yang menyakitkan. Tapi kondisi dilupakan, ditinggalkan, kesepian. Itu yang sakit. Cinta tetap saja begitu. Setidaknya ia telah memperbaikiku dan menggangkat nilaiku berkat perbaikan-perbaikan yang kulakukan, karena cinta.

Maka, kabar gembira bagi orang-orang yang tidak tahu definisi cinta, karena cinta memang dicipta tanpa definisi. atau seindah apapun pujangga mendefinisikannya, tetap saja sebaik-baik cinta adalah seperti yang di serukan sang penguasa cinta: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Q.S At-Taubah; 24)

Senja, Taman Langit, 14 Juni 2014.
Read More..

Jumat, 13 Juni 2014

Serial Optimisme II : Belajar dari Piala Dunia

“Dalam menjalani kehidupan, jadilah seperti pesepak bola, jangan seperti wasit. Sebab yang pertama selalu berkonsentrasi pada tujuan, goal. Sedang yang kedua selalu mencari-cari kesalahan orang”

Entah siapa yang pertama mempunyai ide menyelenggarakan permainan sepak bola, aku tidak tahu. Yang jelas, olahraga itu kini menjadi olahraga nomor wahid di dunia. Disukai banyak orang, lelaki, maupun perempuan.

Sepakbola, boleh jadi sekarang adalah nama lain dari perang dunia. Karena si kulit bundar itu, seringkali di hubung-hubungkan dengan kemajuan sebuah negara. Seperti Jerman yang sempat terpuruk setelah kekalahan mereka di perang dunia II, kepercayaan diri mereka kembali terangkat setelah tim sepakbola Jerman menjuarai piala dunia. Lalu pelajaran apa saja yang dapat kita ambil dari piala dunia olahraga nomor wahid ini?

Tujuan. Untuk memenangkan pertandingan sepakbola, tentu tujuannya jelas, gawang, goal. Begitu juga kita, untuk memenangkan kehidupan, kita harus mempunyai tujuan yang jelas. Mau jadi apa ke depan?  Jangan seperti air, yang hanya mengikuti arus, tidak mempunyai tujuan sendiri, tak jelas harus kemana, akhirnya terdampar di selokan, menjadi air comberan, sampah.

Kerja tim. Siapa yang bisa hidup sendiri di dunia ini? Mana ada, sombong sekali. Agama kita mengajarkan, “bahwa tidak ada kebaikan bagi orang yang tak pandai berakrab-akrab”. Sebab di dunia ini, kita tidak bisa mengerjakan semuanya, kita hanya diminta mengerjakan ‘sesuatu’. Nah, orang lainlah yng menyempurnakan. Ada yang menjadi gawang, bek, penyerang, saling melengkapi.

Kerja keras. Tentu saja, mana ada kesuksesan diraih secara cuma-cuma. Tentu kita harus membayar untuk kesuksesan-kesuksesan yang lebih besar. Harus ada yang di korbankan. Cuman seringnya, manusia berteriak koar-koar penuh semangat laksana singa, tapi ketika mengerjakannya, mereka loyo bagai kelinci yang siap di mangsa.

Strategi. Tak hanya kerja keras, kita juga perlu kerja cerdas. Tentu, semua yang kita lakukan harus berdasarkan pengetahuan, agar tenaga yang kita keluarkan tidak sia-sia. Sebab kadang, seorang petani A rajin ke ladang menanam kopi, merawat kebunnya bertahun-tahun, rajin. Tapi ketika panen, ternyata hasilnya sedikit. Tidak semua pohon kopi buahnya sama. Sedang petani B, dia tahu bahwa ada bibit kopi yang bagus, ada yang kurang bagus, maka dia memilih bibit yang bagus untuk di tanam, hasilnya jelas berbeda, lebih bagus. Karena ilmu, strategi.

Pantang menyerah. Kalau saja Brazil menyerah ketika Kroasia mencetak goal lebih dulu, tentu mereka tidak akan menang malam itu. Kalau kita mengangkat bendera putih sebelum bergerak, berbaring sebelum bertindak, tentu kita tidak akan mampu mencapai tujuan. Bekerjalah!, maka keajaiban. Pejamkan mata, maka kau kan temui, bahwa yang bersungguh-sungguh, pantang menyerah, akan dapat. Yang berjalan di atas tujuan akan sampai. Yang bersabar akan beruntung. Yang menanam akan menuai hasilnya. Pantang menyerah sebelum kalah.

Berjuang sampai detik terakhir. Tidak ada tempat istirahat bagi kita sebelum sebelah kaki menginjak surga. Terus menembus badai sampai akhir. Terus menebas rimba sembar bersih, terus menyingkiran duri agar aman. Terus berjuang hingga hidung menghirup nafas surga.

Sudah siap menjemput kemenangan?

Taman Langit, 13-06-2014. 
Read More..