Sabtu, 14 Juni 2014

Serial Optimisme III : Pagi, Air dan Cinta


“Optimisme itu adalah oksigen yang membuat lilin harapan tetap hidup.  Dan kesabaran adalah kekuatan yang menggenggam lilin itu agar tak goyah terhadap goncangan. Sedang hidup matinya api sang lilin ditentukan oleh badai. Badai prasangka. Sejauh mana prasangka baik kita, sejauh itu pula api optimisme terus berkobar menggelora di dalam dada.”

ayam berkokok. Burung-burung mulai menari keluar sarangnya. si raja siang bersiap-siap membagikan senyumnya, Pagi. Bagi petani, pagi adalah semangat baru, harapan baru untuk mendapat rezeki yang banyak dan berkah. Bagi burung-burung, pagi adalah janji tuhan untuk mempertemukannya dengan makanan. Bagi pohon-pohon, pagi adalah kesejukan. Bagi alam pagi adalah keindahan, seperti embun pagi yang tahu, bahwa ia akan lenyap oleh hangatnya mentari, tapi dia tetap bersikukuh memeluk cahaya tuk hadirkan pelangi. Indah.

“Wahai Fatimah, ujar Nabi suatu ketika, bangun dan saksikanlah  rezeki Rabbmu. Karena Allah membagikan rezeki para hamba antara shalat subuh dan terbitnya matahari”. (HR. baihaqi )

Jika pagi adalah harapan, maka air adalah kehidupan. Air, juga adalah lambang semangat dan kesabaran, lihat ketika ia dibendung oleh benteng yang kokoh, ia tidak purus asa. Jika tak bisa melewati, ia berusaha merobohkan, jika tak bisa, ia menyusup pelan-pelan. Masih tak bisa, ia menunggu penuh kesabaran. Hingga teman-temannya datang, mengumpulkan kekuatan dan akhirnya mereka mampu melewati bendungan. Seluas apapun, setinggi apapun, berkat semangat dan kesabaran. Air.

Allah sang penguasa kehidupan berfirman : “dan dari air, kami jadikan sesuatu yang hidup, maka, mengapa mereka tiada jua beriman?”

Jika pagi harapan, air adalah kehidupan maka cinta adalah kebahagian. Pelengkap, penyempurna semangat. Apakah cinta itu menggalaukan? Tentu tidak. Justru cinta adalah energi terbaik untuk menumbuhkan semangat, survive. Sebagai contoh, ketika aku menyukai seseorang karena kebaikannya, aku jatuh cinta padanya, aku bersemangat untuk terus memperbaiki diriku, karena aku tahu, “Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik”.

Setelah seminggu, sebulan, setahun, ternyata orang yang kukagumi itu menikah dengan orang lain. Apakah aku sakit hati? Apakah ternyata cinta itu menyakitkan, mengecewakan? Tentu tidak. Bukan cintanya yang menyakitkan. Tapi kondisi dilupakan, ditinggalkan, kesepian. Itu yang sakit. Cinta tetap saja begitu. Setidaknya ia telah memperbaikiku dan menggangkat nilaiku berkat perbaikan-perbaikan yang kulakukan, karena cinta.

Maka, kabar gembira bagi orang-orang yang tidak tahu definisi cinta, karena cinta memang dicipta tanpa definisi. atau seindah apapun pujangga mendefinisikannya, tetap saja sebaik-baik cinta adalah seperti yang di serukan sang penguasa cinta: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Q.S At-Taubah; 24)

Senja, Taman Langit, 14 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar