Selasa, 22 Juli 2014

Tiga Matahari


Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai,  orang-orang bak bebek yang berbaris rapi mengular hingga ruang penjemputan. Aku keluar dengan hati yang penuh sesak, sepuluh tahun sudah. Ya, sepuluh tahun sudah aku tak menginjakkan kaki di Indonesia. Mataku berkaca-kaca, perasaan yang ada di dalam dadaku tidak dapat diterjemahkan dengan kata sebab kata hanya akan mempersempit makna.

Kabut  dingin membungkus lembut bandara dan sekitarnya.
Aku keluar bandara sambil menarik koper dan tas ranselku. Di luar, temanku Burtuqal sudah menungguku, dia melambai-lambaikan tangan seakan mengisyaratkan, hei Mi, aku di sini. Aku bergegas menuju temanku itu, seketika dia menghambur dan memelukku erat-erat. Kami haru, menangis.

“Gila Bro!, sepuluh tahun nggak pulang-pulang, nggak kangen lho sama gue?” Burtuqal melepaskan pelukan sambil mendorong bahuku, kami tertawa.
“Isy isy isy… sepuluh tahun kutinggalkan gaya bahasamu masih alay seperti itu?” aku menggeleng-gelengkan kepala, gagal paham.

Kami tertawa. Semacam ada kode dan kata sandi yang apabila diucapkan membuat kami langsung paham dan ingat masa lalu persahabatan kami. 15 menit berlalu, rintik-rintik kangen sudah mulai reda. Aku sudah menguasai keadaan.

“Ayo kita langsung pulang, kamu pasti kelelahan 12 jam di pesawat”
“Naik apa?”
“Udah, gampang itu, aku udah nyewa mobil kok”
“Oke”.
Pukul 4 pagi, mobil yang kami kendarai membelah sunyi malam Jakarta. Mobil sedan itu melaju, belok kiri, melewati tol dengan gagah menerobos kabut pagi, berbelok ke kiri lagi hingga sampai ke tempat tujuan. Kami hanya berdiam sepanjang perjalanan, aku lelah.

***
“Assalamu’alaikum, Ical, kamu sibuk nggak hari ini?  Aku ingin memperbaharui KTP-ku, 5 tahun yang lalu masa berlakunya habis.”
“Oke, nanti jam 8 aku jemput ke rumahmu.”
“Makasih, Cal, aku sudah lama tidak di Indonesia jadi sudah lupa dan sungkan berurusan dengan petugas KTP,” aku menutup telepon.

Aku merebahkan tubuhku di kasur, rasa lelah masih setia menemaniku. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku sebelum dijemput Burtuqal jam 8 nanti. Suara motor cukup bising di luar sana. Mataku terasa berat, ingin terlelap.

“Tok… Tok… Tok,” kudengar ada suara mengetuk pintu.
“Tok…Tok..Tok…Tototok…,” suara itu semakin mengeras, tidak berhenti memukul daun pintu.  Aku bergegas keluar, mukaku tiba-tiba memerah, gigiku bergemeretak, jika ada 10 level tingkat kemarahan, kemarahanku saat itu sudah mencapai level 10. Orang mau istirahat diganggu, mengetuk pintu tak tahu sopan santunnya pula.

Daun pintu kubuka, hampir saja orang yang mengetuk pintu itu  menepuk jidatku untungnya aku sigap menghindar bagai kodok yang meloncat dengan cepat. Dua orang berdiri di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tertegun menatap lamat-lamat sosok lelaki yang berdiri di depanku, mataku menyapu bersih dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Di sampingnya seorang perempuan berdiri anggun menghadap ke jalan raya, membelakangiku.

“Siapa lelaki berambut ikal dan berkulit kuning langsat ini? Dan perempuan itu…” aku melamun.
“Mi…” lelaki itu berteriak  seraya menghambur ingin memelukku. Aku tentu saja menghindar, bisa-bisanya orang yang mau kuterkam, kumarahi habis-habisan, eh seenaknya ingin memelukku. Dia heran. Aku heran. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.

“Thomatim? Hei, aku hampir saja lupa rupamu” kami akhirnya berpelukan erat.
“Hampir lupa? Kau bahkan sudah benar-benar lupa Mi,” ujarnya masih terbahak-bahak.
“Sepuluh tahun tak bertemu, kamu berubah 360 derajat, dulu kamu tuh hitam, pendek, ikal, dekil lagi, eh sekarang udah kayak pejabat aja.” Aku masih tidak percaya bertemu dengan Thomatim, teman SMA-ku sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar Mi, saya punya kejutan buat kamu,” Thomatim memanggil perempuan yang dari tadi hanya melihat kendaran berlalu-lalang, tak sedikitpun menghiraukan kami.

Perempuan itu, oi, tubuhnya tinggi semampai, kerudungnya panjang menjuntai, aku kenal betul dengan perempuan itu, Mazbalah, si bunga desa, pujaan semua lelaki, dia adik kelasku waktu SMA dulu. Tak ada lelaki yang tidak tertarik dengannya, termasuk aku. Demi melihatnya tersenyum, aku sampai lupa mempersilakan mereka untuk duduk.

“Ayo masuk, silakan duduk,” ujarku setelah menguasai keadaan.
Kami mengobrol santai, bercanda, sesekali aku menceritakan kesibukanku kuliah di luar negeri, hingga Mazbalah mengeluarkan kata-kata itu, kata awal yang akan kuingat hingga akhir hayatku.

“Kakak sepuluh tahun di luar negeri makin ganteng deh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kamu juga,” ujarku tersipu.
“Hei, Kak! Sepuluh tahun tidak berjumpa kakak, aku tetap perempuan lho,” dia tidak terima.
Aku tersenyum. Dia tersenyum, kali ini terlihat lebih ikhlas.
“Masih rajin nulis di blog?”
“Iya, Udah nerbitin buku malah. Alhamdulillah semua best seller.”
“Wah, sudah mapan dong, sudah saatnya nikah,” Thomatim tiba-tiba memotong pembicaraan kami, “aku saja sudah nikah,” ujarnya bangga.
“Dengan siapa?” Aku heran, perasaan tidak pernah dia memberi kabar.
“Itu, dengan perempuan yang di depanmu,” ujarnya santai.

Aku meneguk ludah, berusaha tak percaya. Badanku lemas seketika. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, alam sekitar mengisyaratkan kalau aku pulang ke Indonesia maka aku akan bahagia. Tapi inilah yang terjadi, faktanya Thomatim memang telah menikah dengan Mazbalah, cincin pernikahan mereka kokoh melekat di jari masing-masing. Oi, puisi-puisi yang kutulis, surat-surat tak sampai yang kukarang, buku-buku yang kuterbitkan, andai kau tau itu semua untukmu, Mazbalah. Ah, ranting kelapa kini patahlah sudah, perasaan yang kupendam bertahun-tahun kini tak akan bertemu muaranya. Aku tak semangat lagi meneruskan canda dengan mereka, hatiku patah, berlipat-lipat.

“Kamu itu sudah 28 tahun lho, Mi, apalagi yang kamu tunggu?” semangat betul Thomatim mengompori aku agar segera menikah, untung saja Burtuqal datang di saat yang tepat. Aku selamat dari bully mereka.

***
“Mau ke mana kita bos?” Burtuqal nyengir dengan air muka santainya, masih saja dia suka memanggil aku dengan sebutan bos, selera humornya masih tetap seperti dulu, tidak berubah.
“Kita ke kantor kelurahan dulu, aku mau memperbaharui KTP.” kataku mantap

Kami berempat akhirnya menuju kantor kelurahan menggunakan mobil yang disewa Burtuqal, aku duduk di depan di samping Burtuqal yang asik menyetir, kursi di belakang diduduki Thomatim dan istrinya, siapa? Istrinya? Ah, sakit sekali hatiku menyebutnya.

Mobil kami terus melaju melewati gang-gang kecil, membelah perumahan, hingga akhirnya sampai ke kelurahan. 

“Sudah sampai,” Burtuqal mengisyaratkan.
“Kenapa tidak turun?” aku balik bertanya, “temenin aku dong.”
“Sudah 28 tahun masih minta temenin bikin KTP?” Thomatim sengaja betul menyindir usiaku, belum puas nampaknya dia menyakitiku. Tunggu saja pembalasanku.

Aku keluar mobil dengan muka masam, kesal, berjalan gontai menuju kantor kelurahan. Tiba-tiba seorang perempuan menyapaku, senyumnya manis. Setidaknya cukup untuk mengobati kekecewaanku terhadap dua sahabatku itu. Apa? Sahabat? Bahkan mereka selalu mengerjaiku.

Aku dikasih nomor urut dan air mineral untuk menunggu giliran. Tiga menit, tiba giliranku. Aku disapa dengan senyum, petugasnya bekerja dengan gesit, tidak lelet apalagi berlama-lama. Semua petugas sibuk melayani tidak internetan apalagi membuka Facebook. 15 menit, selesai.

“ini Pak, sebagai terima kasih,” Aku menyodorkan uang seratus ribuan.
“Maaf Pak, kami tidak menerima uang tips,”
“Hah? Tapi ini hanya tanda terima kasih karena dilayani dengan baik,” aku protes.
“Maaf Pak, sudah tugas kami melayani dengan baik, sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih berhak.”
Whattt???”

Aku seperti bermimpi, sepuluh tahun yang lalu, ketika mengurus surat pengantar  nikah untuk kakakku bahkan petugasnya meminta uang 50 ribu. Kalau tidak diberi, maka surat pengantar nikahnya juga tidak diberi. Kan nggak lucu gagal nikah gara-gara tidak ada surat pengantar?

Aku berjalan kembali menuju mobil, kali ini emosiku sudah stabil.
“gimana? Mudahkan?” Thomatim menggodaku. Aku hanya diam, tidak menghiraukannya.
“Kita keliling-keliling Jakarta dulu, sudah lama kan tidak melihat keindahan Jakarta?” Burtuqal masih serius dengan setirnya.
“Eh, kalau ngajak bercanda jangan berlebihan, hari libur gini mau keliling Jakarta, mending tidur di rumah, lebih sejuk,” aku menolak ajakan tidak masuk akal Burtuqal.
“Kak Haromi kan sudah lama tidak melihat Jakarta, sekali-sekalilah kita keliling Jakarta bersama-sama seperti sepuluh tahun dulu,” suara itu, oi, sakit sekali hatiku mendengar Mazbalah berbicara, aku kembali teringat pernikahan mereka.

Aku terdiam, menunduk menekuri ujung kaki, buru-buru kubuang niat burukku pada kedua sahabatku, aku ingat kata nenek dulu, “salah satu syarat mutlak agar kau bahagia adalah, kau bahagia dan (memang) berbahagia melihat orang lain (teman, saudara bahkan musuh) hidup lebih beruntung. Bukan malah dengki, apalagi kepada teman sendiri, oi, itu jahat sekali.”  

Mobil kami menerobos membelah gagahnya gedung-gedung Jakarta, aku melirik kiri-kanan, bersih, tidak ada sampah. Bahkan ketika lampu merah, aku melihat motor mengantri tertib di belakang mobil, padahal celah lebar ada di depannya.

“Kenapa? Bingung?” Burtuqal seperti paham raut wajahku, “Jakarta sekarang bahkan tidak perlu polisi lalu lintas lagi, semua orang dengan senang hati mentaati ketertiban.” Burtuqal panjang lebar menjelaskan. Aku mengangguk pura-pura percaya. 

Benar saja, memang sepanjang jalan tak ada polisi dan tak ada pelanggaran. Aku melongo tak percaya. Sepuluh tahun yang lalu bahkan banyak yang parkir sembarangan, melawan arus, membuat kebisingan dengan memencet klakson. Sekarang? Oi, aku menepuk jidat memastikan bahwa tidak sedang bermimpi.

Kami kini tepat melintasi sebuah jembatan di atas sungai Ciliwung. Angin sejuk menerpa wajah, kami sengaja membuka jendela mobil, sebab udara alami sungguh lebih sehat daripada AC. Dan lagi-lagi saya tertegun, tidak ada polusi udara.

“Eh, sejak kapan anak-anak mandi dan bermain di kali Ciliwung yang nampak berbeda? Kita harus turun,” kali ini aku memaksa mereka semua untuk turun.
Kami tiba di tepi kali, menikmati sejuknya angin tepian sungai. Ciliwung benar-benar bersih.
“Eh, ada Pak Gubernur…” seorang anak berlari diikuti anak-anak yang lain, juga sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka antri menyalami Thomatim.
“Eh???” aku bingung.
“Tidak usah bingung,” Burtuqal menepuk bahuku, “4 tahun yang lalu Thomatim terpilih menjadi gubernur Jakarta.”
“Dan Burtuqal kutunjuk sebagai kontraktor,” ujar Thomatim nyengir sambil merangkul istrinya, “Kau lihatkan hasil kerjanya selama 4 tahun? Menakjubkan bukan?” mereka tersenyum.

Saya menggigit-gigit wortel tidak percaya dengan yang saya lihat. Pertanyaannya: 'dari mana saya dapat wortel?'

***
 “Sungguh benar ujar pepatah bijak dahulu, semua akan berubah, alam akan berubah, bumi akan berubah, air laut akan berkurang atau bertambah, gunung akan meletus atau runtuh, hanya satu yang tidak akan berubah, apakah itu? perubahan itu sendiri”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar