Selasa, 01 Oktober 2013

bermetamorfosa menjadi muslim sejati




Didalam dunia pendidikan kita sekarang, -menurut ustadz Mohammad Fauzhil Adhim dalam bukunya segenggam iman anak kita- para guru/calon guru memang diajarkan untuk mendidik anak, Tetapi ini pun tidak cukup. Jika guru hanya mengajarkan materi pelajaran, sementara mereka tak punya komitmen yang tinggi dan kepedulian terhadap iman anak didik. maka jangan terkejut jika anak-anak fasih berbicara tetapi hampa imannya. Mereka pandai berbicara tentang agama, tapi tak meyakininya sepenuh jiwa

“Pendidikan karakter” itulah yang menjadi bahan perbincangan pakar pendidikan kita. Mereka nampaknya sudah semakin gerah meliahat realitas social kemanusiaan kita yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Karena berhala-berhala yang silih berganti menggoda diri kita, manusia semakin tidak tangguh untuk menjaga sikap istiqamahnya ‘ahsanu taqwim’ (ciptaan Allah yang terbaik) mereka caggung untuk berpproses menjadi insan kamil (meminjam istilah JIL ) karena proses perbaikan akhlak untuk menggapai akhlak yang baik memerlukan kesabaran yang luar biasa.

Pendidikan untuk “pencerdasan diri” seperti ini adalah visi dan misi islam sejak agama ini pertama diturunkan Allah SWT. Penanaman sikap tauhid dan akhlak adalah dua ‘kunci utama’ pendidikan yang ditawarkan islam. Tauhid adalah akar kepribadian sedang akhlak adalah buahnya. Tanpa akar yang kuat –kata para ulama- tamanan mudah tercerabut berpeluang layu dan akhirnya ‘mati’. Namun akar yang kuat saja tidaklah cukup, apabila pohon tidak dirawat dengan penuh kesabaran sejak ditanamnya benih, maka jangan harap memberikan kesempurnaan hasil yang diidamkan.

Pendidikan akhlak dalam pandangan ibn maskawaih tidak bisa dibatasi pada ‘sekedar’ baik dalam konteks hablum minan naas tetapi lupa kepada Allah, dengan melalaikan kewajibannya kepada Allah. Seorang yang senantiasa bermuamalah dengan baik, seraya mempertontonkan ‘auratnya’ tidak bisa disebut berakhlak mulia. Ia juga harus meyakini seyakin yakinnya bahwa setiap tindakan diminta pertanggung jawabannya. Oleh karenannya iman yang menjadi pondasi akhlak mulianya akan menjadikannya manusia yang menjaga nobility of character/muruah-nya.

Dalam perspektif spritualitas islam, jika manusia ingin mencapai derajat kesempurnaan, manusia harus melalui proses tiga tahapan latihan spiritual. Pertama At-takhally/zero mind process (mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan). Kedua At-tahally/character building (menghiasi diri dengan perilaku baik) dan yang terakhir adalah at-tajally/god spot yaitu dimana kondisi kausalitas ilahiah termanifestasikan dan teraktualisasikan.

Perjalanan untuk mencapai husn al khulq itu sangatlah melelahkan, karena harus berpisah dengan ‘berhala-berhala’ yang selama ini mereka cintai, “dunia dan segala rangkaian kenikmatan yang telah memanjakan nafsu.

Atas dasar itulah, ketika saya berdiskusi dengan ustadz Muhsin Hariyanto M.Ag (Dosen FAI UMY dan STIKES Aisyiah) menyarankan pemuda khususnya saya, dengan nada candaan yang sederhana namun mengena didalam dada. “Kalau memilih pasangan hidup” kata beliau, pilihlah karena akhlaknya jangan karena kecantikannya. Karena kalau kecantikan, banyak salon yang dapat memolesnya, tapi adakah salon untuk perbaikan akhlak? Berat, perlu kesabaran. Karena proses pertumbuhan karakter memerlukan waktu yang panjang.

Eh eh, kok lari kesana pembahasannya ? hehehe balik balik.Nah, sekarang. Pertanyaan pentingnya bagi kita adalah, cukup nyalikah kita untuk menjadi orang –orang yang mengawali langkah-langkah kedepan untuk menjadi orang yang memiliki sifat sabar dan istiqamah dalam bermetamorfosa menjadi manusia-manusia langka, manusia yang berakhlak mulia ditengah kehidupan yang tak cukup bersahabat bagi diri kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar