Syahdan, seorang guru ingin mengajarkan dua muridnya tentang Hakikat
dosa. Diperintahkanlah kedua muridnya untuk mengambil batu. Satu diperintahkan
untuk mengambil batu besar berukuran 1 kg. yang satu lagi disuruh mengambil batu
kerikil yang juga berukuran 1kg. setelah
selesai mencari batu yang diperintahkan sang guru, kedua murid tersebut
menghadap dengan membawa batu sebagai mana perintah sang guru.
Sang guru kemudian bertanya kepada pembawa batu besar, jika
aku memerintahkan kepadamu untuk mengembalikan batu tersebut ketempat semula
ingatkah kau tempatnya? Si pembawa batu besar menjawab, tentu aku ingat persis
tempat dimana aku mengambilnya. Lalu kemudia sang guru bertanya kepada sipembawa
batu kerikil kecil, jika aku memerintahkan kepadamu untuk mengembalikan batu
tersebut ketempat semula ingatkah kau tempatnya? Si pembawa batu merunduk diam
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tanda tak bisa.
Setali tiga uang, terkisah bahwa ada sepasang monyet sedang
memanjat pohon, tiba-tiba pohon tersebut diterjang oleh angin topan, sang
monyet semakin erat berpegangan tangan. Merekapun selamat dari goncangan sang
topan. Beberapa sa’at kemudian datang lagi
badai tornado, si monyet makin erat berpegangan, hingga merekapun selamat dan
tidak terjatuh untuk kedua kalinya.
Akhirnya datanglah angin sepoi-sepoi, menyanyi-nyanyi di atas
ubun-ubun simonyet. Simonyet terlena hingga akhirnya tertidur dan buggg… si
monyet terjatuh.
Sahabatku; apa yang dapat kita ambil dari cerita dan ilustrasi
di atas? Ya. Menghargai hal kecil,. kita kadang sering terlupa dengan hal
kecil, kita sering menyepelekn hal kecil. Seperti cerita di atas, bahwa jika
melakukan dosa kecil namun berkesinambungan, jumlah dosa kita lambat laun
menumpuk, bahkan sama berat dengan dosa besar. Karena meremehkan dosa kecil
kita cendrung lupa untuk bertobat. Astaghfirullah.
Sahabat, sebenarnya dua cerita diatas hadir di fikiran saya
ketika saya dibangunkan oleh teman untuk melaksanakan shalat Ashar. Sebelum itu,
20 menit sebelum ashar, saya memutuskan untuk tidur, mendinginkan kepala yang
sudah terasa panas dan berat. Belum rasa panas dikepala dan kantuk yang mulai
menyerang hilang, eh. Panggilan Ashar sudah terdengar, saya memutuskan untuk
lanjut rebahan, karena memang kepala saya terasa begitu pusing. Tiba-tiba
datanglah teman saya seraya membangunkan saya menggunakan kakinya. Hey Fahmi,
bangun! sudah Ashar, begitu katanya.
Saya yang sudah pusing ditambah pusing lagi dengan serangan kantuk.
Entah setan apa yang menyerang hati
saya, saya merasa jengkel dibangunkan. Bukan karena niat baiknya untuk
membangukan saya, tapi caranya membangunkan menggunakan kakilah yang
membuat saya jengkel. Dalam fikiran saya saat itu, kalau mau membangunkan ya
merunduk dikit lah sambil dicolek pakai tangan, kan lebih sopan. karena saat
itu saya tidur di lantai agar mengurangi rasa panas di siang hari, Mungkin fikirnya
lebih simple jika menggunakan kaki. Tapi pusing kepala dan suasana hatiku saat
itu membuatku tak terima, Padahal itu hal kecil.
Saya Akhirnya bangun, dan tetap kemesjid untuk berjama’ah meskipun
ketinggalan 3 raka’at. Tapi disaat shalat, fikiran tentang membangunkan dengan
kaki tadi selalu muncul. Astaghfirullah. Semoga ini menjadi pelajaran berharga,
menghargai sesuatu sekecil apapun selama tu bermanfaat. belajar dari hal kecil,
berdakwah dengan sebaik cara.
~”Tak selamanya kita menggunakan
paku, kadang kita memerlukan jarum. Bukan besar kecilnya pekerjaan kita. Tapi sesuai
kebutuhan.”~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar