Selasa, 22 Juli 2014

Tiga Matahari


Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai,  orang-orang bak bebek yang berbaris rapi mengular hingga ruang penjemputan. Aku keluar dengan hati yang penuh sesak, sepuluh tahun sudah. Ya, sepuluh tahun sudah aku tak menginjakkan kaki di Indonesia. Mataku berkaca-kaca, perasaan yang ada di dalam dadaku tidak dapat diterjemahkan dengan kata sebab kata hanya akan mempersempit makna.

Kabut  dingin membungkus lembut bandara dan sekitarnya.
Aku keluar bandara sambil menarik koper dan tas ranselku. Di luar, temanku Burtuqal sudah menungguku, dia melambai-lambaikan tangan seakan mengisyaratkan, hei Mi, aku di sini. Aku bergegas menuju temanku itu, seketika dia menghambur dan memelukku erat-erat. Kami haru, menangis.

“Gila Bro!, sepuluh tahun nggak pulang-pulang, nggak kangen lho sama gue?” Burtuqal melepaskan pelukan sambil mendorong bahuku, kami tertawa.
“Isy isy isy… sepuluh tahun kutinggalkan gaya bahasamu masih alay seperti itu?” aku menggeleng-gelengkan kepala, gagal paham.

Kami tertawa. Semacam ada kode dan kata sandi yang apabila diucapkan membuat kami langsung paham dan ingat masa lalu persahabatan kami. 15 menit berlalu, rintik-rintik kangen sudah mulai reda. Aku sudah menguasai keadaan.

“Ayo kita langsung pulang, kamu pasti kelelahan 12 jam di pesawat”
“Naik apa?”
“Udah, gampang itu, aku udah nyewa mobil kok”
“Oke”.
Pukul 4 pagi, mobil yang kami kendarai membelah sunyi malam Jakarta. Mobil sedan itu melaju, belok kiri, melewati tol dengan gagah menerobos kabut pagi, berbelok ke kiri lagi hingga sampai ke tempat tujuan. Kami hanya berdiam sepanjang perjalanan, aku lelah.

***
“Assalamu’alaikum, Ical, kamu sibuk nggak hari ini?  Aku ingin memperbaharui KTP-ku, 5 tahun yang lalu masa berlakunya habis.”
“Oke, nanti jam 8 aku jemput ke rumahmu.”
“Makasih, Cal, aku sudah lama tidak di Indonesia jadi sudah lupa dan sungkan berurusan dengan petugas KTP,” aku menutup telepon.

Aku merebahkan tubuhku di kasur, rasa lelah masih setia menemaniku. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku sebelum dijemput Burtuqal jam 8 nanti. Suara motor cukup bising di luar sana. Mataku terasa berat, ingin terlelap.

“Tok… Tok… Tok,” kudengar ada suara mengetuk pintu.
“Tok…Tok..Tok…Tototok…,” suara itu semakin mengeras, tidak berhenti memukul daun pintu.  Aku bergegas keluar, mukaku tiba-tiba memerah, gigiku bergemeretak, jika ada 10 level tingkat kemarahan, kemarahanku saat itu sudah mencapai level 10. Orang mau istirahat diganggu, mengetuk pintu tak tahu sopan santunnya pula.

Daun pintu kubuka, hampir saja orang yang mengetuk pintu itu  menepuk jidatku untungnya aku sigap menghindar bagai kodok yang meloncat dengan cepat. Dua orang berdiri di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tertegun menatap lamat-lamat sosok lelaki yang berdiri di depanku, mataku menyapu bersih dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Di sampingnya seorang perempuan berdiri anggun menghadap ke jalan raya, membelakangiku.

“Siapa lelaki berambut ikal dan berkulit kuning langsat ini? Dan perempuan itu…” aku melamun.
“Mi…” lelaki itu berteriak  seraya menghambur ingin memelukku. Aku tentu saja menghindar, bisa-bisanya orang yang mau kuterkam, kumarahi habis-habisan, eh seenaknya ingin memelukku. Dia heran. Aku heran. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.

“Thomatim? Hei, aku hampir saja lupa rupamu” kami akhirnya berpelukan erat.
“Hampir lupa? Kau bahkan sudah benar-benar lupa Mi,” ujarnya masih terbahak-bahak.
“Sepuluh tahun tak bertemu, kamu berubah 360 derajat, dulu kamu tuh hitam, pendek, ikal, dekil lagi, eh sekarang udah kayak pejabat aja.” Aku masih tidak percaya bertemu dengan Thomatim, teman SMA-ku sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar Mi, saya punya kejutan buat kamu,” Thomatim memanggil perempuan yang dari tadi hanya melihat kendaran berlalu-lalang, tak sedikitpun menghiraukan kami.

Perempuan itu, oi, tubuhnya tinggi semampai, kerudungnya panjang menjuntai, aku kenal betul dengan perempuan itu, Mazbalah, si bunga desa, pujaan semua lelaki, dia adik kelasku waktu SMA dulu. Tak ada lelaki yang tidak tertarik dengannya, termasuk aku. Demi melihatnya tersenyum, aku sampai lupa mempersilakan mereka untuk duduk.

“Ayo masuk, silakan duduk,” ujarku setelah menguasai keadaan.
Kami mengobrol santai, bercanda, sesekali aku menceritakan kesibukanku kuliah di luar negeri, hingga Mazbalah mengeluarkan kata-kata itu, kata awal yang akan kuingat hingga akhir hayatku.

“Kakak sepuluh tahun di luar negeri makin ganteng deh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kamu juga,” ujarku tersipu.
“Hei, Kak! Sepuluh tahun tidak berjumpa kakak, aku tetap perempuan lho,” dia tidak terima.
Aku tersenyum. Dia tersenyum, kali ini terlihat lebih ikhlas.
“Masih rajin nulis di blog?”
“Iya, Udah nerbitin buku malah. Alhamdulillah semua best seller.”
“Wah, sudah mapan dong, sudah saatnya nikah,” Thomatim tiba-tiba memotong pembicaraan kami, “aku saja sudah nikah,” ujarnya bangga.
“Dengan siapa?” Aku heran, perasaan tidak pernah dia memberi kabar.
“Itu, dengan perempuan yang di depanmu,” ujarnya santai.

Aku meneguk ludah, berusaha tak percaya. Badanku lemas seketika. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, alam sekitar mengisyaratkan kalau aku pulang ke Indonesia maka aku akan bahagia. Tapi inilah yang terjadi, faktanya Thomatim memang telah menikah dengan Mazbalah, cincin pernikahan mereka kokoh melekat di jari masing-masing. Oi, puisi-puisi yang kutulis, surat-surat tak sampai yang kukarang, buku-buku yang kuterbitkan, andai kau tau itu semua untukmu, Mazbalah. Ah, ranting kelapa kini patahlah sudah, perasaan yang kupendam bertahun-tahun kini tak akan bertemu muaranya. Aku tak semangat lagi meneruskan canda dengan mereka, hatiku patah, berlipat-lipat.

“Kamu itu sudah 28 tahun lho, Mi, apalagi yang kamu tunggu?” semangat betul Thomatim mengompori aku agar segera menikah, untung saja Burtuqal datang di saat yang tepat. Aku selamat dari bully mereka.

***
“Mau ke mana kita bos?” Burtuqal nyengir dengan air muka santainya, masih saja dia suka memanggil aku dengan sebutan bos, selera humornya masih tetap seperti dulu, tidak berubah.
“Kita ke kantor kelurahan dulu, aku mau memperbaharui KTP.” kataku mantap

Kami berempat akhirnya menuju kantor kelurahan menggunakan mobil yang disewa Burtuqal, aku duduk di depan di samping Burtuqal yang asik menyetir, kursi di belakang diduduki Thomatim dan istrinya, siapa? Istrinya? Ah, sakit sekali hatiku menyebutnya.

Mobil kami terus melaju melewati gang-gang kecil, membelah perumahan, hingga akhirnya sampai ke kelurahan. 

“Sudah sampai,” Burtuqal mengisyaratkan.
“Kenapa tidak turun?” aku balik bertanya, “temenin aku dong.”
“Sudah 28 tahun masih minta temenin bikin KTP?” Thomatim sengaja betul menyindir usiaku, belum puas nampaknya dia menyakitiku. Tunggu saja pembalasanku.

Aku keluar mobil dengan muka masam, kesal, berjalan gontai menuju kantor kelurahan. Tiba-tiba seorang perempuan menyapaku, senyumnya manis. Setidaknya cukup untuk mengobati kekecewaanku terhadap dua sahabatku itu. Apa? Sahabat? Bahkan mereka selalu mengerjaiku.

Aku dikasih nomor urut dan air mineral untuk menunggu giliran. Tiga menit, tiba giliranku. Aku disapa dengan senyum, petugasnya bekerja dengan gesit, tidak lelet apalagi berlama-lama. Semua petugas sibuk melayani tidak internetan apalagi membuka Facebook. 15 menit, selesai.

“ini Pak, sebagai terima kasih,” Aku menyodorkan uang seratus ribuan.
“Maaf Pak, kami tidak menerima uang tips,”
“Hah? Tapi ini hanya tanda terima kasih karena dilayani dengan baik,” aku protes.
“Maaf Pak, sudah tugas kami melayani dengan baik, sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih berhak.”
Whattt???”

Aku seperti bermimpi, sepuluh tahun yang lalu, ketika mengurus surat pengantar  nikah untuk kakakku bahkan petugasnya meminta uang 50 ribu. Kalau tidak diberi, maka surat pengantar nikahnya juga tidak diberi. Kan nggak lucu gagal nikah gara-gara tidak ada surat pengantar?

Aku berjalan kembali menuju mobil, kali ini emosiku sudah stabil.
“gimana? Mudahkan?” Thomatim menggodaku. Aku hanya diam, tidak menghiraukannya.
“Kita keliling-keliling Jakarta dulu, sudah lama kan tidak melihat keindahan Jakarta?” Burtuqal masih serius dengan setirnya.
“Eh, kalau ngajak bercanda jangan berlebihan, hari libur gini mau keliling Jakarta, mending tidur di rumah, lebih sejuk,” aku menolak ajakan tidak masuk akal Burtuqal.
“Kak Haromi kan sudah lama tidak melihat Jakarta, sekali-sekalilah kita keliling Jakarta bersama-sama seperti sepuluh tahun dulu,” suara itu, oi, sakit sekali hatiku mendengar Mazbalah berbicara, aku kembali teringat pernikahan mereka.

Aku terdiam, menunduk menekuri ujung kaki, buru-buru kubuang niat burukku pada kedua sahabatku, aku ingat kata nenek dulu, “salah satu syarat mutlak agar kau bahagia adalah, kau bahagia dan (memang) berbahagia melihat orang lain (teman, saudara bahkan musuh) hidup lebih beruntung. Bukan malah dengki, apalagi kepada teman sendiri, oi, itu jahat sekali.”  

Mobil kami menerobos membelah gagahnya gedung-gedung Jakarta, aku melirik kiri-kanan, bersih, tidak ada sampah. Bahkan ketika lampu merah, aku melihat motor mengantri tertib di belakang mobil, padahal celah lebar ada di depannya.

“Kenapa? Bingung?” Burtuqal seperti paham raut wajahku, “Jakarta sekarang bahkan tidak perlu polisi lalu lintas lagi, semua orang dengan senang hati mentaati ketertiban.” Burtuqal panjang lebar menjelaskan. Aku mengangguk pura-pura percaya. 

Benar saja, memang sepanjang jalan tak ada polisi dan tak ada pelanggaran. Aku melongo tak percaya. Sepuluh tahun yang lalu bahkan banyak yang parkir sembarangan, melawan arus, membuat kebisingan dengan memencet klakson. Sekarang? Oi, aku menepuk jidat memastikan bahwa tidak sedang bermimpi.

Kami kini tepat melintasi sebuah jembatan di atas sungai Ciliwung. Angin sejuk menerpa wajah, kami sengaja membuka jendela mobil, sebab udara alami sungguh lebih sehat daripada AC. Dan lagi-lagi saya tertegun, tidak ada polusi udara.

“Eh, sejak kapan anak-anak mandi dan bermain di kali Ciliwung yang nampak berbeda? Kita harus turun,” kali ini aku memaksa mereka semua untuk turun.
Kami tiba di tepi kali, menikmati sejuknya angin tepian sungai. Ciliwung benar-benar bersih.
“Eh, ada Pak Gubernur…” seorang anak berlari diikuti anak-anak yang lain, juga sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka antri menyalami Thomatim.
“Eh???” aku bingung.
“Tidak usah bingung,” Burtuqal menepuk bahuku, “4 tahun yang lalu Thomatim terpilih menjadi gubernur Jakarta.”
“Dan Burtuqal kutunjuk sebagai kontraktor,” ujar Thomatim nyengir sambil merangkul istrinya, “Kau lihatkan hasil kerjanya selama 4 tahun? Menakjubkan bukan?” mereka tersenyum.

Saya menggigit-gigit wortel tidak percaya dengan yang saya lihat. Pertanyaannya: 'dari mana saya dapat wortel?'

***
 “Sungguh benar ujar pepatah bijak dahulu, semua akan berubah, alam akan berubah, bumi akan berubah, air laut akan berkurang atau bertambah, gunung akan meletus atau runtuh, hanya satu yang tidak akan berubah, apakah itu? perubahan itu sendiri”
Read More..

Sabtu, 12 Juli 2014

A-Rindu


Di jendela yang menjadi tempat nongkrong favoritku, tempat untuk mengintip bintang yang malu-malu, tempat untuk melihat angkuhnya pameran langit Kairo, atau sekedar tempat untuk merayakan sepi dengan secangkir kopi. Belakangan, dari tempat ini bintang tak tampak lagi, langit hanya gelap dan aku hanya terdiam senyap.

Ada yang kurang. Seperti ada potongan cerita yang hilang. Atau terhapus. Kondisi sekitar menyiratkan bahwa harusnya tidak berakhir begini. Tapi, inilah yang terjadi. Harus ada yang terluka, biarlah itu aku sendiri.

Belakangan, aku tahu nama luka itu. Orang-orang menyebutnya rindu. Bila kata Elly Risma narkotika dapat berusak tiga bagian otak. Fornografi bisa merusak lima bagian otak. Maka rindu padamu merusak semuanya, bukan cuma otak.

Katamu rindu itu penyakit, maka sekarang aku terjangkit. Tapi kamu tak perlu repot untuk mencari obatnya. sebab aku tak mau sembuh.

Kini aku dan kamu sama-sama sadar, bahwa rindu adalah anugrah yang besar. Kita tak perlu bayar untuk merindu. Tak perlu uang, juga tak perlu berlian. Kita hanya perlu membangun lilin kepercayaan, menopangnya dengan sedikit keteguhan, dan menyalakannya dengan api semangat. Menjaganya dengan cinta agar rindu tetap hidup. Tak akan redup. Hingga mata benar-benar terkatup. 
Read More..

Kamis, 10 Juli 2014

Mendoakan Palestina


Gelisah. Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya gelisah, galau. Baik karena kesalahan yang diperbuat, perdagan yang dikhawatirkan, masa depan yang belum jelas, atau apapun yang membuat kedamaian hati terusik. Gelisah.

Kegelisahan kita kali ini tentang Gaza, kota Ummat Islam yang ingin direbut pakasa oleh Israil, yang katanya ‘tanah yang dijanjikan’.  Segala cara mereka lakukan, segala tipudaya mereka upayakan, meski dengan berperang bahkan dengan membunuh sekalipun.  Untuk merebut gaza dari tangan Ummat Islam.

Dunia mengutuk. orang-orang yang ‘punya hati’ menyumpah. Sebab, “muslim yang satu dengan muslim yang lain adalah serupa anggota badan. Satu yang disakiti, semua akan merasakan.” Lantas kita berdoa sebagai simpati dan empati terhadap kaum Muslim yang diserang habis habisan oleh Israil.

Kita mendoakan kemengan dan kemerdekaan untuk Palestina, tak lupa kita mendoakan kaum kafir dan yahudi  agar dihancurkan dan dibinasakan. Salahkah? Sepintas tak ada yang terlihat salah. Tapi coba kita perhatikan baik-baik, jika kita berdoa agar Allah membinasakan kaum kafir, Lalu Allah mengabulkannya, mereka semua binasa. Lalu, apa kira-kira tempat mereka (orang-orang kafir) itu setelah mereka dibinasakan? Yang kita yakini, sebaik-baik tempat mereka adalah neraka. Lalu muncul pertanyaan berikutnya, kemana Setan ingin menjerumuskan manusia? Jawabnya juga Neraka. Lalu apa bedanya kita dengan Setan jika sama-sama menjerumuskan mereka ke dalam Neraka?

Apakah kita lupa hadis Rasulullah, ketika ada mayat Yahudi lewat dihadapan Nabi lalu Nabi menangis? Ditanyalah Nabi, Apa yang membuatmu menangis wahai Rasulullah? “Telah lolos dariku satu jiwa dan ia masuk neraka.” Coba kita perhatikan perbedaan kita dengan Rasulullah yang berusaha member petunjuk kepada manusia dan menjauhkan mereka dari api neraka.

Kita harus ingat, bahwa penduduk terbesar bumi adalah orang-orang kafir. Kita juga harus ingat bahwa menjadi jalan hidayah bagi seseorang adalah amal jariah yang terus mengalir tiada akhir, maka alangkah baiknya jika kita berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada orang-orang kafir tersebut. Maka dengan berislamnya mereka terang benderanglah dunia.  Sebagaimana Rasulullah ketika dimusuhi habis-habisan oleh ‘dua Umar’, beliau justru berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada ‘Dua Umar’. Maka terang benderanglah Islam setelah Allah memberikan hidayah kepada sosok pemberani, Umar bin Khatttab.

Kita tahu, serangan  yang dilancarkan Israil terhadap palestina adalah tindakan Barbar dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum Internasional. Terhadap semua itu, harusnya tidak membuat hati kita keruh dan turut menjadi orang barbar dengan mendoakan kehancuran dan kebinasaan kepada mereka. Kita memang wajib membenci kezaliman, tapi kita tidak berhak sedikitpun membenci orang yang zhalim. Bencilah kezaliman, jangan benci orangnya. Bencilah ketidakadilan, jangan hina orangnya. Sebab Islam adalah rahmatan Lil Alamin. Dan muslim adalah orang yang apabila orang lain selamat dari mudharat lisan dan tangannya.
#PrayForGaza.
Read More..

Minggu, 06 Juli 2014

All About July


Semua orang lahir dari rahim seorang perempuan bukan? Tentu saja ini hanya pertanyaan retorika. Semua orang akan menjawab dengan mengangguk iya. Tapi lain jawaban jika pertanyaan itu dilontarkan kepadaku, maka jawabannya adalah tidak. Aku berbeda. Aku dilahirkan dari rahim seorang malaikat. Bagiku, ibu adalah malaikat.

Di hari-hari sekira 20 tahun yang lalu, mungkin aku hanyalah seonggok calon bayi yang makan dan bertahan hidup melalui plasenta. Kemudian di suatu sore ditahun yang sama, aku dikeluarkan dari rahim ibuku dibantu oleh seorang bidan kampung, dulu disebut dukun beranak. Aku menghirup udara untuk pertama kalinya tanpa bantuan plasenta, juga melihat cahaya dan berteriak untuk pertama kalinya.

Kabarnya, penduduk kampung geger. Orang-orang heboh membicarakan kelahiranku. Selepas maghrib, mereka berbondong-bondong menjengukku. Bapak-bapak membawa obor yang terbuat dari bambu. Anak-anak meniup terompet sebagian lagi menyalakan kembang api. Para pemuda menabuh bedug sepanjang perjalanan. Ibu-ibu menyayikan lagu perjuangan menyambut kemenangan. Bahasa singkatnya, mereka membuat gaduh alias berisik.
Mereka tampak suka ria mendengar kabar ini. kelahiran seorang anak yang menurut dukun-dukun kampung adalah penyelamat dari paceklik dan kekeringan akibat kemarau panjang, juga sebagai pahlawan yang membela tanah air  akan mengusir penjajah dari tanah bumi pertiwi.

Kabar ini cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Presiden yang mendengar kabar ini lantas mengumpulkan kabinet-kabinetnya, mengadakan rapat mendaddak, mereka tak mau ketinggalan ikut ambil bagian merayakan momen bahagia ini. Setengah jam kemudian, setelah semua peserta rapat setuju, Pak Presiden memutuskan bahwa tepat di hari kelahiranku itu, 23 juli, ditetapkan sebagai hari anak nasional.  

Ternyata tidak hanya di negeri ini kabar kelahiranku disambut gagap gempita, di negeri tiongkok sana, mereka juga merayakan kelahiranku. Mereka percaya akulah anak yang ditunggu itu, yang menurut Zhuge Liang adalah anak yang mampu menyatukan kembali Negara iar, api, udara dan tanah, serta mampu menaklukkan alien yang akan menyerang bumi. Seluruh bumi gagap gempita menyambut kelahiranku.

Cukup. Jangan terlalu serius membacanya, nanti tambah bingung. Percayalah, aku sangat meragukan kepekaan dan kemampuan intelektualitas anda kalau anda mempercayai 4 paragrap di atas. Bukankah Indonesia sudah merdeka sejak 1945? Dan peceklik panjang di Indonesia terjadi tahun 1997? Oi, saya sangat meragukan pengetahuan anda tentang sejarah kalau anda mempercayai cerita saya di atas.  Atau jangan-jangan kalianlah orang-orang yang mencontek saat Ujian Nasional sehingga sejarah Indonesia merdeka saja tidak tahu? Ups, sudah dapat dosa berbohong, aku malah su’udzhon pula. Hiskss…

Satu-satunya kebenaran dari 5 paragrap di atas adalah 23 juli yang ditetapkan sebagai hari anak nasional. Sedang Zhuge Liang dia bukanlah peramal, dia adalah ahli strategi perang dari Negeri Tiongkok, dan tidak ada hubunghannya dengan Mama  Lauren apalagi Ki Joko Bodo. Jadi anda hanya buang-buang waktu membaca 5 paragrap tidak penting di atas. Hehehe…

20 tahun kemudian.

Anak yang dulu dielu-elukan itu. Anak yang dulu jadi kebanggan seluruh penduduk kampung itu, adalah orang yang menulis cerita ngawur ini. Sekarang ia berperang melawan kebodohan seraya belajar menulis. Sebab ia percaya, sebuah buku sungguh mampu menggugah jiwa, mengubah dunia. Maka ia bertekat untuk mengembalikan harapan penduduk kampung. Menjadi pahlawan yang akan mengusir dan membabat habis kebodohan. Hehehe… Ngakk ada hubungannya ya? Kita memang tidak sedang membahas hubungan bukan? Bukankah kita sudah putus bertahun tahun yang lalu?. Sudah berkali-kali aku bilang, aku tidak mau pacaran. Pacaran itu dosa. Tapi kamu tetap saja maksa. Lho? Kok jadi bahas itu? Tau ah…
Read More..

Sabtu, 05 Juli 2014

Jarak


Kita telah belajar banyak hal dari spasi, bahwa hadirnya jarak mengajarkan banyak makna. Malam itu engkau mengirim pesan kepadaku; “kenapa hadirnya jarak hanya membuat hati semakin sesak?”. Aku tersenyum menjawab: “bukankah jarak dicipta agar kita dapat bergerak, meraih cita sebanyak yang dikehendak?”

Namun rasanya aku terlalu naïf bila merayakan keterpisahan ini. Saat detik-detik hanya bisa bicara pada udara, saat menit-menit hanya bisa menatap bintang yang angkuh di angkasa. Saat jam, hari, minggu, bulan silih berganti merajut masa. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengakui rindu yang mendera.

Tapi bukankah kita berjanji untuk bersabar? Maka sabar itu akan mendekatkan yang jauh,  memudahkan yang berat, mempersingkat yang lama dan tentu saja akan merapatkan yang berjarak. Percayalah

Kelak, aku akan menjemputmu di taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin tak ada monumen cinta apalagi mahkota raja, juga tak ada patung-patung artistik apalagi kursi yang penuh manik-manik, juga tak ada air mancur atau hiasan apa saja.  Tapi kehadiranmu sungguh telah memperindah semuanya.
Read More..