Senin, 24 Maret 2014

Memeluk Cahaya (I)


Si raja siang itu telah menenggelamkan dirinya di laut Jawa. Mega merah di ufuk barat telah ditaklukkan oleh kegagahan tentara malam. Angin tenggara begitu derasnya menyibak awan-awan hitam. Bebereapa saat kemudian muncullah si ratu malam yang menyapa penduduk desa dengan cahaya senyumnya. Malam itu tepat malam ke 15 di bulan Muharram.

 Maling…! Maling…! Maling…!

Dari ujung desa terdengar suara keras penduduk membelah langit. Mereka mengejar empat sekawan yang melarikan diri setelah ketahuan mencuri. Dari jauh, empat sekawan itu sesekali menengok kebelakang melihat orang-orang bagai pemburu yang siap menerkam mereka dengan tombak dan parangnya.

Seorang kawan terpisah dari rombongannya. Ia tertinggal. Tak tahu arah jalan. Sedang pemburu sebentar lagi akan mengetahui keberadaannya.  Badannya basah bermandikan keringat. Hatinya ciut. Dia memalingkan badan kearah kiri kemudian terus berlari hingga masuk ke sebuah mesjid. Mengambil bagian pojok sebelah kiri mesjid untuk bersembunyi seraya duduk menyandarkan diri. Badannya loyo. Tatapannya layu. Matanya sayu. Tubuhnya menggigil. Ketakutan.  Hatinya memikul beban berat setelah lolos dari pelarian.

Ternyata dia tidak sendirian di mesjid itu, dia tak sadar lagi dengan sekitarnya. Di mesjid itu seorang kiyai komat-kamit melantunkan dzikir.

Assalamualaikum… Pak Kiyai” seorang polisi memanggil Kiyai dengan nafas tersengal.
Waalaikum salam…, ada apa malam-malam begini menemui saya” jawab sang kiyai.
“Adakah pak kiyai melihat seorang pencuri masuk ke mesjid ini?” tanyanya mantap.
“Sebab saya melihat dia lari kesini” ujar seorang di sampingnya.
“Tidak ada” ujar Kiyai “aku hanya sendiri disini” tuksanya pendek.
“ya sudah” ujar polisi tegas. “Kalau bapak melihatnya” ujarnya meminta, “mohon beri tahu kami” tutupnya sambil memalingkan diri lalu pergi.
Sang kiyai lalu kembali ketempat semula melanjutkan wirid-nya. Lelaki di pojok masjid tersadar kalau dia diselamatkan oleh kiyai. Merasa sudah aman, bagai kepala penyu keluar dari kangkangnya ia perlahan keluar mencoba melarikan diri.

“mana ada orang jahat masuk ke mesjid” ujar kiyai mengagetkan lelaki yang mencoba melarikan diri itu. “orang yang masuk ke mesjid itu tamunya Allah” lanjut sang kiyai sambil beranjak dari tempat duduknya. “mereka pasti orang baik, atau orang yang hendak berbuat baik”. Tukas kiyai dengan senyum penuh ketenangan.

Lelaki yang berdiri di depan pintu itu terdiam bagai batu. Hatinya berkecamuk. Bebannya makin berat. Dia memalingkan diri, lalu berlari dan tersungkur di hadapan kiyai. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Apakah Allah…,” katanya terbata-bata, “akan mengampuni dosa-dosaku kiyai?!” ucapnya tersedu-sedu. Dia menghirup nafas dalam-dalam kemudian berucap, “Dosaku menggunung lebih banyak dari buih dilautan” ujarnya.

“Iblis itu ingkar kepada Allah, tapi permintaannya dikabulkan” ujar kiyai tersenyum menenangkan. “apatah lagi manusia” lanjutnya, “ yang penuh kekurangan, Ia lebih berhak mendapatkannya”. 

Setitik cahaya menyusup masuk ke dada si lelaki, matanya berbinar terang. Dadanya lapang. Hatinya tenang. Bebannya hilang.  Matanya berkaca-kaca menyesali segala perbuatannya.

“kau tinggal dimana?” tanya kiyai setelah si lelaki bisa menguasai dirinya.
“aku tak punya rumah” ujarnya sambil mengusap air mata.
“tinggallah di rumahku” ujar kiyai sambil menepuk pundak si lelaki.
“terima kasih” ujar pemuda seraya mencium tangan kiyai.

Malam itu adalah malam hijrah si lelaki. Dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Dari kebodohan menuju dunia ilmu yang luas membentang. Malam itu, lelaki itu terlahir kembali sebagai muslim seutuhnya. Hatinya sangat bahagia bisa menghirup udara pesantren milik sang kiyai.
***

“Hari ini” ujarku kepada sahabatku Hafidz, “tepat tiga tahun sudah aku di pesantren ini”.
“Teruslah mengajar disini” ujar hafidz sambil membuka kitab bulughul maram-nya, “santri di sini semakin membutuhkan bimbinganmu”.
“Itulah masalahnya Fidz…, tadi malam, pak kiyai menyuruhku untuk berdakwah ke kampung sebelah” ujarku membuka percakapan, “waktuku jadi berkurang di pondok ini.”
“lha…  bagus dong? itu artinya pak yai sudah mempercayaimu” ujar Hafidz membenarkan pendapat kiyainya.
”Percaya gimana? Ilmuku kan masih sedikit” ujarku mengelak.
“sudahlah” ujar Hafidz, “pak kiyai pasti punya maksud baik menyuruhmu”. “Jalani saja” tutupnya datar.
***

Kota Amuntai siang itu menampakkan kegagahannya. Jalanan macet. mobil mengular bermeter-meter. Hari itu aku pulang dari kampung sebelah setelah berdakwah pertama kali. Aku menaiki angkot yang kebetulan hanya ada seorang perempuan di dalamnya.
“Assalamualaikum” ujarku menyapanya.
Wanita itu hanya tersenyum tidak membalas salamku. Sejak itu, aku selalu mempunyai alasan untuk gagal menyapanya, ditambah lagi suara angkot butut yang bising merebut pembicaraan kami.

Angkot itu akhirnya berhenti di bawah pohon besar, tepat berseberangan dengan pintu gerbang pesantren. Aku pun langsung turun dan membayar ongkos angkot. Perempuan itu juga ternyata turun di tempat yang sama denganku. Setelah membayar ongkos, tanpa sepatah kata pun dia langsung masuk menuju pesantren. Aku heran. Penasaran. Siapakah perempuan itu?
***

“Dia itu anak tunggal pak kiyai” ujar Hafidz memotong ceritaku.
“Lho? Pak kiyai punya anak ya Fidz?” ujarku malu karena berani menyapanya.
“Iya…, serkarang dia berduka, sebab lelaki yang meminangnya baru saja meninggal dunia”. “kata pak kiyai” ujar Hafidz melanjutkan, “dia sekarang lebih suka menyendiri dan menghabisklan waktunya di pinggir sungai yang ada di belakang pesantren ini.
***

Burung-burung berterbangan kesana kemari, seraya hinggap di reranting beringin yang berdaun rimbun. Mereka bernyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada si raja siang yang sedang turun ke balik gunung. Seorang perempuan duduk termenung memandang ke pohon beringin di tepi sungai itu. Akan tetapi pandangannya lain, daun-daun beringin yang bergoyang itu tidak tampak pada matanya. Suara air yang berbelok-belok tak kedengaran di telinganya. Angan-anganya sedang sibuk mengigat masa lalu. “bagai mana tidak terbit air mata” tulisnya di sebuah kertas kosong, “jika kekasih yang selalu dinanti, pergi dan tak akan kembali”. 
Selalin air mata, adakah yang pantas mewakili kata
setelah suara tak bergema lantaran tersumbat derita?
Kau wakilkan dirimu pada serpih sepi
Pada udara, tak ada nafasmu lagi
Pada tanah, tak ada jejakmu lagi
Pada gelap, tak ada cahayamu lagi
Cuma pada kenang kau muncul kembali
Setiap jengkal laku kita dulu telah di rekam oleh tanah, udara, cahaya
Sampai temu pisah kita di simak batu dan kerikil
Itulah mengapa melupakanmu adalah hal mustahil
Perempuan itu menangis tersedu-sedu mengenang kekasihnya yang pergi lebih dulu.
“cplung…” tiba tiba batu yang jatuh ke sungai membuyarkan lamunannya. Saeorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya, masih setia melempar batu ke dasar sungai.
“Kata Rasulullah, ujarku sambil tersenyum seraya membalikkan arah ke perempuan itu, “kalau kita memandang orang tua atau orang shalih kita dapat pahala.” “Tapi kalau kita memandang air, lalu kemudian teringat seseorang, apa gunanya?”
“Apakah dengan mengingatnya dia akan kembali?”
“terima kasih” ujar si perempuan datar. Dalam hatinya ia menyembunyikan senyum melihat tingkah yang menurutnya lucu.
“Maaf…, aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin mengembalikan kertas puisimu yang kemaren kudapatkan disini” ujarku sambil menunjukkan puisi tersebut.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut si perempuan, hanya sebaris senyuman yang dijadikannya sebagai balasan. Hari itu, untuk pertama kalinya dia tersenyum setelah ditinggalkan tunangannya.
“siapa namamu?” ujar si perempuan setengah teriak bertanya padaku  yang sudah berjalan meninggalkannya.
“Syarifullah…”
Bersambung…

sumber foto: Kawan imut
Read More..

Rabu, 12 Maret 2014

Jangan Siakan Mudamu



“Tidak akan bergeser kedua kaki anak adam di hari kiamat dari sisi Rabbnya, hingga ditanya tentang lima perkara (yaitu) ; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan  dari ilmu yang dimilikinya”
~Baginda Rasulullah SAW~

Jangan tertipu dengan nikmat sehat
Karena syarat wafat tak perlu sakit
Jangan terlena dengan masa muda
Karena sebab mati tak harus tua
(Fahmi ‘Ain-Fathah)


“Pemuda” kata Doktor Hassan wasfi dalam bukunya hamasah fi udzuni syabab “laksana seorang musafir yang bepergian ke kota, Disana banyak jalan. Ada banyak tikungan”. “maka” kata beliau melanjutkan, “pejalan seperti itu harus membutuhkan peta atau penunjuk jalan agar tidak tersesat.

Banyak diantara kita yang berpendapat bahwa masa muda identik dengan dunia berfoya, masa-masa menikmati hidup, bermain game, menghabiskan waktu dengan uring-uringan dan malas-malasan  dengan alasan mencari jati diri. Padahal begitukah pemuda? Jati diri apa yang di dapatkan jika mencarinya dengan seperti itu?

Betul pemuda tidak berpengalaman, tapi dengan ketidak berpengalamannya itu pemuda justru mampu menciptakan hal-hal baru. Karena yang berpengalaman cendrung mengatasi sesuatu dengan cara yang sama, berdasarkan pengalamannya.

“Pemuda itu hijau” ujar Salim A. Fillah dalam menyimak kicau merajut makna, “hijau artinya terus bertumbuh. berkembang. Mekar. Membesar.”. “kalau tua justru bahaya” lanjut beliau, “karena tinggal menunggu ia membusuk”. Nah!

Umpama sinar matahari, masa muda adalah waktu ketika matahari tepat diatas ubun-ubun. Memberikan cahaya paling terang dan menyemburkan hangat terdahsyatnya. Nah, sayangkan kalau energi terkuat justru dihabiskan untuk berfoya dan maksiat? Astaghfirullah… Na’udzubillah… bukankah pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah adalah salah satu golongan yang dilindungi oleh Allah dihari tiada perlindungan kecuali lindungan-Nya? Nah! Kenapa kita enggan memilih jalan keren ini?

“Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadan lemah, kemudian Dia menjadikan kamu setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S Ruum; 54)

***
Bagai mana cara memanfaatkan waktu? Seorang Ibnu uqail al-hambali punya jawaban sempurna. “tidak kuhalalkan bagiku” jelas beliau, “menyia-nyiakan sedetik pun waktu dari umurku”. Seperti yang kita ketahui, beliau lebih mengutamakan memakan kue dan segelas air dari pada memakan roti karena takut kehilangan waktu selagi mengunyahnya.

Abdullah ibnu Mas’ud R.A juga mengajarkan kepada kita betapa berartinya waktu. “Aku tidak pernah menyesali sesuatu” ujar beliau dalam syiirnya, “sebagai mana aku menyesali hari yang telah tenggelam matahari. “umurku berkurang” lanjut beliau, “sedang amalku tidak bertambah”.

Ada lagi pengakuan seorang penyair arab sekaligus renungan mendalam bagi kita yang mengaku muda, “Jika hari berlalu” ujarnya, “sedang aku tidak mendapat petunjuk dan tidak memanfaatkan ilmu. Lalu apa makna umurku ini?

***
Suatu ketika seorang pemuda terisak-isak menyaksikan teman seumurannya asyik bermain game. Seorang lelaki berjanggut tipis datang menghampirinya dengan senyum termanis.
“Kamu mau aku belikan mainan seperti itu?” katanya menawarkan dengan tulus.
Tapi apa jawaban si pemuda?
“bukan karena itu aku menangis” ujar pemuda masih tersedu-sedu. “aku menangis” ujarnya, “karena mereka diciptakan bukan untuk bermain-main”.
“Apakah mereka tidak mendengar firman Allah?” lanjutnya sambil membacakan firman Sang Pencipta dengan air mata makin deras mengalir  “maka apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada kami? (Q.S Al-mu’minun 115)
***
Read More..

Sabtu, 22 Februari 2014

Merebut Hati


Jika satu-satunya alat yang kau miliki adalah palu
Kau akan cenderung melihat segala hal sebagai paku
~Abraham H. Maslow~

nasehati aku di kala kita hanya berdua
jangan meluruskanku di tengah ramai
sebab nasehat di depan banyak manusia
terasa bagai hinaan yang membuat hatiku luka
-asy-Syafi’i, Diwan

Hadist itu begitu masyhur di otak kita. Dihafal ribuan orang. Terkadang menjadi pahlawan yang perkasa. “Qulil Haq”, “Katakan yang benar,” begitu Rasulullah bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar al-Ghiffari, “Meskipun pahit.”  Beberapa ulama fiqh memasukkan hadits ini dalam pembahasan Kitaabut Tijaaroh, kitab perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya.

Kita mendapat pelajaran berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika para pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi siapakah kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi yang mengucapkannya. Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang mengucapkannya merasa sakit, menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut. Kepahitan itu sama sekali bukan bagi yang mendengarnya. Sebab andai begitu, sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.

“Hari-hari ini,” kata Ustadz  Salim di bukunya dalam dekapan ukhuwah, “kita yang sedang penuh semangat hilir mudik ke sana-kemari untuk menebarkan kebenaran sesuai dengan apa yang kita fahami. Tetapi kadang tanpa sadar kita sebenarnya hanya menyakiti hati, memerahkan telinga, dan membuat sesak di dada. Orang-orang yang mendengar itu merasakan bahwa kita bukan membawa kebenaran bagi mereka. Kita hanya sekedar mengunjukkan diri sebagai yang paling benar, mengungkit-ungkit salah mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah, dan kadang juga kita merasa mempermalukan mereka.”

Apa dalil kita? Katakan yang benar meski pahit. Sayang sekali, agaknya kita agak meleset memaknainya. Yang benar belum tentu tersampaikan. Yang pahit sudah pasti dirasakan para penyimak kata-kata kita. Dengan begitu, disebabkan kesempitan ilmu, kita telah menjadi pemilik palu, dan merasa semua orang adalah paku. Astaghfirullohal ‘azhiim.

“Pemilik palu,” Masih kata Ustadz Salim “selalu beranggapan bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan.”  Bagi mereka, memenangkan debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang mempermalukan orang yang mereka cintai.

Dalam menyampaikan kebenaran, yang diperlukan adalah memenangkan hati. Bukan menaklukkan akal dengan memenangkan argument. Kita mengambil hikmah dari kisah Khalilullah Ibrahim A.S ketika berdebat dengan Namrud. Beliau memenangkan hujjah, membuat raja Namrud kehabisan kata-kata. Takluk. Tapi berimankah Namrud? Tidak! Dia justru geram dan menghukum Nabi Ibrahim dengan membakarnya. Kita belajar bahwa menyampaikan kebenaran, adalah masalah merebut hati.

Dalam menyampaikan kebenaran, sabda sang Nabi itu begitu memesona. “sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” kata sang Nabi, “Hendaklah berkata yang baik, Atau diam.”

“Baik itu” Kata seorang Ustadz dalam sebuah kesempatan “benar isinya. Indah caranya. Tepat waktunya. Bermanfaat dan berpahala disisi Allah. Jika tidak memenuhi keempat syarat, maka diam adalah lebih bijak.

Orang-orang yang menganggap bahwa memenangi argumentasi pada suatu saat jauh lebih penting daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.

Nah. Apakah di dalam diri kita, masih ada ciri pemilik palu ini? Subhanallah, hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Agaknya perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.

Ya Allaah…
Dalam berdakwah, ajari kami untuk memenangkan hati, bukan sekedar Hujjah. agar tak ada yang tersakiti ketika kami menyampaikan kebenaran.

Wallahu A’lam.


Read More..

Kamis, 20 Februari 2014

Gadis itu



Gadis itu cantik. Berkulit putih. Berwajah manis. Bola matanya biru. Alis mata yang hampir membentuk huruf U terlukis indah disekitar matanya. Sesekali senyum lesung pipitnya membuat terkesima siapa saja yang berpapasan dengannya. Senyum yang laksana seiris surga itu juga umpama purnama dimalam minggu. Indah, indah sekali. Tubuhnya yang tinggi semampai, Cocok sekali menjadi gadis sampul atau sebagainya.

Gadis itu begitu mulia. Tutur katanya yang menyejukkan. Sopan santunnya yang menentramkan. Cara berpakaiannya, memakai jilbab dan khimar, sebaik-baik keindahan. Perempuan yang melihatnya, pasti ingin menirunya. Lelaki yang melihatnya, pasti bergetar hatinya. Termasuk aku. Aku sangat kagum dengan gadis itu. Dia sangat memesona dengan kesederhanaannya.

***

Gadis yang suka mengenakan kerudung hijau dan biru itu sangat PEDE dengan jati dirinya. Sangat sederhana dalam kesehariannya. Semangat dalam menggapai citanya. Sabar dalam rintangannya.

 “Dari segerombolan semut kita belajar arti perjuangan” tulisnya di status facebook yang nama akunnya begitu indah. Sifatnya, adalah perwujudan dari makna namanya; Dhiya ‘Afifah. “Cahaya yang menjaga kesucian dirinya”.

“Dari sebuah kepompong” lanjutnya lagi dengan tenang “Kita belajar arti kesabaran”. “dari sebatang pohon” tulisnya lagi dengan lembut “ kita belajar untuk memberi”.

“dari sebatang kaktus" tulisnya dengan penuh ketulusan “Kita belajar  untuk menjaga diri”. “Subhanallah… begitu menenangkan. Luar biasa gadis ini” gumamku dalam hati. Sejak itu, makna ‘gadis’ telah berubah dalam fikiranku. Tak sembarang perempuan yang mampu menyandang gelar ‘gadis’. “gadis” adalah, mereka yang menjaga diri dan hatinya dengan penuh perjuangan meskipun haruus dillui kesabaran”.

“dari sebutir padi” lanjutnya mengakhiri bait-bait indah nan penuh makna, “kita belajar rendah hati.

***
Aku memejamkan mata, tak mampu rasanya terus menatap kata-kata yang penuh makna itu. Biarlah hati yang merabanya, biarkan hati yang menyelaminya; indah, menenangkan. Sejuk, menentramkan. Damai, menguatkan.

“Seseorang” tulisku membalas statusnya di kesempatan lain “hanya mampu memberi yang mereka punya. Dan gadis itu, hanya memiliki keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti, Itulah yang dapat ia beri”.

***

Dari gadis itu, aku banyak belajar arti kehidupan, kesederhanaan, perjuangan, bahkan menjaga diri dan hati. Memang, kadang aku tersinggung ketika membaca tulisan-tulisannya. Begitu mengena menashihati diri yang terombang-ambing dengan dunia. Tulisan-tulisannya adalah nafas bagi kehidupan; sejuk, damai penuh makna.

Dari gadis itu pula, aku tahu bahwa menjaga hati itu berat, diserang dari berbagai arah. Dihujani dari atas, disikut dari samping. Berat. Tapi, gadis itu memberitahuku bahwa masih ada “gadis” yang menjaga dirinya. Membuat aku yakin untuk menjaga hati hingga saatnya perjanjian itu, yang mengguncang Arsy, dihujani berkah. “Qabiltu Nikaahaha wa tazwijaha…”.

***

Dari gadis itu, adakah kita belajar bahwa keanggunan akhlak adalah kebahagiaan yang hakiki? Untukmu wahai para perempuan; jagalah diri dan hati, agar akhlakmu mempesona. Dan untuk kami para lelaki, “Bukankah pasanganmu adalah cerminan dirimu”? lalu, apa yang menghalangimu untuk memperbaiki diri?

#No Valintine’s day.

 Cairo, 14 februari 2014

Read More..

Dua Sisi


Di perjalanan, pemuda itu biasanya menyapa dan mengajak bicara  siapa saja yang duduk disampingnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; bila merasa nyaman, ia akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk  berakrab-akrab. Mereka akan tenggelam dalam keasyikan bercengkrama.  Tapi, jika yang disapa merasa terganggu, dia kembali mengakrabi buku-buku atau Al-Quran yang telah ia siapkan didalam tasnya.

Sore itu, pemuda itu duduk tepat dibelakang sebelah kiri sang sopir. Tidak ada buku ataupun Qur’an yang dibacanya. Dia juga tidak terlihat berakrab-akrab dengan orang disampingnya. Tasnya pun masih rapi diatas asuhannya. Ada yang beda dari pemuda itu,  matanya  terlihat sayu. Tatapannya layu. Mukanya pasi. Diwajahnya, terukir jelas gurat-gurat kelelahan. Pikirannya melayang-layang ke tanah air tempat lahirnya, Indonesia. Ia teringat ibu dan bapaknya yang bekerja membanting tulang demi membiayainya kuliah di negeri kinanah, Mesir.

Matanya yang sayu perlahan berkaca-kaca. Mukanya memerah. Ia dirundung rindu; kepada kedua orang tuanya. Kepada kedua adiknya. Ia memejamkan mata dalam-dalam, menenangkan hati yang sedang disinggahi rindu. Tiba-tiba teriakan pak kernet membuyarkan lamunannya.

Asyir… ‘Asyir… ‘Asyir bawwabat…(nama daerah di madinah Nasr, Cairo) teriak sang kernet berulang-ulang.

Meskipun kursi bus sudah penuh bahkan melebihi muatan, tapi sang kernet tetap berteriak memanggil para penumpang yang menuju districk A’syir. Di depan pintu, terlihat seorang perempuan  masuk berdesakan kedalam bus. Karena tidak ada kursi kosong, permpuan itu terpaksa harus berdiri. Pemuda yang duduk paling dekat dengan perempuan itu, merasa iba melihatnya. Dan memang sudah tabiat orang mesir untuk mempersilakan duduk seorang perempuan jika melihatnya berdiri.

“Silakan” kata pemuda itu sambil tersenyum dengan tangan mengulur kearah kursi mempersilakan si perempuan untuk duduk.

“terimakasih” jawab si perempuan dengan senyuman yang tak kalah manisnya dengan senyum si pemuda.

***

Sore itu, bus merah itu memang penuh padat. Para penumpang yang  berdiri terlihat berbaris rapi dengan tangan kanan keatas memengang tali. Pemuda itu berdiri sambil memeluk tasnya. Sesekali, tasnya yang berat itu diturunkannnya kebawah guna mengurangi rasa pegal di punggungnya. Tenaganya berkurang karena terkuras setelah seharian belajar dan berktifitas di kampus.

“Sini saya bawakan tasnya, biar enak” kata perempuan yang duduk tadi dengan lembut.
“nda usah mba. Nggak papa kok.” kata pemuda itu dengan penuh keyakinan. “terima kasih” tambahnya sambil tersenyum. (D)

***

“Kebaikan itu” kata sang guru suatu ketika dengan wajah yang teduh “pasti berbuah”. “Orang yang baik” lanjut sang guru “akan mengundang kebaikan-kebaikan yang lain untuk datang menghampirinya”. Pemuda itu kini paham makna kata-kata hikmah yang disampaikan gurunya. Dulu, pemahamannya masalah kata-kata itu masih mengambang. Perempuan itu, telah mengajarinya dengan sempurna.

Ia juga teringat kalimat di buku Hamasah fi udzuni asy syabab yang dibacanya beberapa hari yang lalu. “perbaikilah” kata doktor Syamsi basya dalam bukunya tersebut “ber-mu’amalah dengan orang lain”. “karena manusia” kata beliau melanjutkan “tidak melupakan keburukan seseorang meskipun Allah telah mengampuni dosanya”.

kejadian itu menghujani kuncup pemahamannya hingga tumbuh mekar dan sempurna. Bagaikan dedaunan yang dihujani embun pagi, wajah pemuda itu kembali cerah berseri. Seperti mendapat energi tambahan, dia tak lagi merasa lelah berdiri. Namun, suara teriakan itu, kembali merusak keceriaannya. Cahaya itu kembali meredup. Wajahnya berkerut sambil menggelangkan kepala.

Harami… Pencuri… hati-hati lelaki yang baju merah itu pencuri…” teriak salah seorang penumpang bus asal Malaysia itu berbahasa melayu. Penumpang bus yang berasal dari asia tenggara, menjauh dari laki-laki berbaju merah itu sambil mengamankan barang bawaannya. Lelaki berbaju merah itu memasang muka tak acuh. Tidak tahu kalau orang asia sedang membicarakan dan memperhatikannya. Ia tak paham bahasa melayu.

***

Setelah revolusi 25 januari, kodisi mesir memang tidak terlalu aman. Banyak pencurian dan penipuan dimana-mana. Atas nama demokrasi mereka semaunya berekspresi. Parahnya lagi, jika ada harami (baca; maling) penumpang yang ada di bus hanya membiarkannya. “kalau di Indonesia” kata pemuda itu bergumam dalam hati “sudah selesai maling ini”. “Hanya ada dua kemungkinan; digebukin di tempat sampai mati. Atau babak belur kemudian diserahkan kepolisi”. Astaghfirullah… tidak kalah seramnya.

***

~Bus merah, Cairo 18 Februari 2014~
Read More..