Si raja siang
itu telah menenggelamkan dirinya di laut Jawa. Mega merah di ufuk barat telah
ditaklukkan oleh kegagahan tentara malam. Angin tenggara begitu derasnya
menyibak awan-awan hitam. Bebereapa saat kemudian muncullah si ratu malam yang
menyapa penduduk desa dengan cahaya senyumnya. Malam itu tepat malam ke 15 di
bulan Muharram.
Maling…! Maling…! Maling…!
Dari ujung desa
terdengar suara keras penduduk membelah langit. Mereka mengejar empat sekawan
yang melarikan diri setelah ketahuan mencuri. Dari jauh, empat sekawan itu
sesekali menengok kebelakang melihat orang-orang bagai pemburu yang siap
menerkam mereka dengan tombak dan parangnya.
Seorang kawan
terpisah dari rombongannya. Ia tertinggal. Tak tahu arah jalan. Sedang pemburu
sebentar lagi akan mengetahui keberadaannya.
Badannya basah bermandikan keringat. Hatinya ciut. Dia memalingkan badan
kearah kiri kemudian terus berlari hingga masuk ke sebuah mesjid. Mengambil
bagian pojok sebelah kiri mesjid untuk bersembunyi seraya duduk menyandarkan diri.
Badannya loyo. Tatapannya layu. Matanya sayu. Tubuhnya menggigil.
Ketakutan. Hatinya memikul beban berat
setelah lolos dari pelarian.
Ternyata dia
tidak sendirian di mesjid itu, dia tak sadar lagi dengan sekitarnya. Di mesjid
itu seorang kiyai komat-kamit melantunkan dzikir.
“Assalamualaikum…
Pak Kiyai” seorang polisi memanggil Kiyai dengan nafas tersengal.
“Waalaikum
salam…, ada apa malam-malam begini menemui saya” jawab sang kiyai.
“Adakah pak
kiyai melihat seorang pencuri masuk ke mesjid ini?” tanyanya mantap.
“Sebab saya
melihat dia lari kesini” ujar seorang di sampingnya.
“Tidak ada” ujar
Kiyai “aku hanya sendiri disini” tuksanya pendek.
“ya sudah” ujar
polisi tegas. “Kalau bapak melihatnya” ujarnya meminta, “mohon beri tahu kami”
tutupnya sambil memalingkan diri lalu pergi.
Sang kiyai lalu
kembali ketempat semula melanjutkan wirid-nya. Lelaki di pojok masjid
tersadar kalau dia diselamatkan oleh kiyai. Merasa sudah aman, bagai kepala penyu
keluar dari kangkangnya ia perlahan keluar mencoba melarikan diri.
“mana ada orang
jahat masuk ke mesjid” ujar kiyai mengagetkan lelaki yang mencoba melarikan
diri itu. “orang yang masuk ke mesjid itu tamunya Allah” lanjut sang kiyai
sambil beranjak dari tempat duduknya. “mereka pasti orang baik, atau orang yang
hendak berbuat baik”. Tukas kiyai dengan senyum penuh ketenangan.
Lelaki yang
berdiri di depan pintu itu terdiam bagai batu. Hatinya berkecamuk. Bebannya
makin berat. Dia memalingkan diri, lalu berlari dan tersungkur di hadapan
kiyai. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Apakah Allah…,”
katanya terbata-bata, “akan mengampuni dosa-dosaku kiyai?!” ucapnya
tersedu-sedu. Dia menghirup nafas dalam-dalam kemudian berucap, “Dosaku
menggunung lebih banyak dari buih dilautan” ujarnya.
“Iblis itu
ingkar kepada Allah, tapi permintaannya dikabulkan” ujar kiyai tersenyum
menenangkan. “apatah lagi manusia” lanjutnya, “ yang penuh kekurangan, Ia lebih
berhak mendapatkannya”.
Setitik cahaya
menyusup masuk ke dada si lelaki, matanya berbinar terang. Dadanya lapang.
Hatinya tenang. Bebannya hilang. Matanya
berkaca-kaca menyesali segala perbuatannya.
“kau tinggal
dimana?” tanya kiyai setelah si lelaki bisa menguasai dirinya.
“aku tak punya
rumah” ujarnya sambil mengusap air mata.
“tinggallah di
rumahku” ujar kiyai sambil menepuk pundak si lelaki.
“terima kasih”
ujar pemuda seraya mencium tangan kiyai.
Malam itu adalah
malam hijrah si lelaki. Dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Dari
kebodohan menuju dunia ilmu yang luas membentang. Malam itu, lelaki itu
terlahir kembali sebagai muslim seutuhnya. Hatinya sangat bahagia bisa
menghirup udara pesantren milik sang kiyai.
***
“Hari ini”
ujarku kepada sahabatku Hafidz, “tepat tiga tahun sudah aku di pesantren ini”.
“Teruslah
mengajar disini” ujar hafidz sambil membuka kitab bulughul maram-nya,
“santri di sini semakin membutuhkan bimbinganmu”.
“Itulah masalahnya
Fidz…, tadi malam, pak kiyai menyuruhku untuk berdakwah ke kampung sebelah”
ujarku membuka percakapan, “waktuku jadi berkurang di pondok ini.”
“lha… bagus dong? itu artinya pak yai sudah
mempercayaimu” ujar Hafidz membenarkan pendapat kiyainya.
”Percaya
gimana? Ilmuku kan masih sedikit” ujarku mengelak.
“sudahlah” ujar
Hafidz, “pak kiyai pasti punya maksud baik menyuruhmu”. “Jalani saja” tutupnya
datar.
***
Kota Amuntai
siang itu menampakkan kegagahannya. Jalanan macet. mobil mengular bermeter-meter. Hari
itu aku pulang dari kampung sebelah setelah berdakwah pertama kali. Aku menaiki
angkot yang kebetulan hanya ada seorang perempuan di dalamnya.
“Assalamualaikum”
ujarku menyapanya.
Wanita itu hanya
tersenyum tidak membalas salamku. Sejak itu, aku selalu mempunyai alasan untuk
gagal menyapanya, ditambah lagi suara angkot butut yang bising merebut
pembicaraan kami.
Angkot itu
akhirnya berhenti di bawah pohon besar, tepat berseberangan dengan pintu
gerbang pesantren. Aku pun langsung turun dan membayar ongkos angkot. Perempuan
itu juga ternyata turun di tempat yang sama denganku. Setelah membayar ongkos,
tanpa sepatah kata pun dia langsung masuk menuju pesantren. Aku heran.
Penasaran. Siapakah perempuan itu?
***
“Dia itu anak
tunggal pak kiyai” ujar Hafidz memotong ceritaku.
“Lho? Pak kiyai
punya anak ya Fidz?” ujarku malu karena berani menyapanya.
“Iya…, serkarang
dia berduka, sebab lelaki yang meminangnya baru saja meninggal dunia”. “kata
pak kiyai” ujar Hafidz melanjutkan, “dia sekarang lebih suka menyendiri dan
menghabisklan waktunya di pinggir sungai yang ada di belakang pesantren ini.
***
Burung-burung
berterbangan kesana kemari, seraya hinggap di reranting beringin yang berdaun
rimbun. Mereka bernyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada si raja siang
yang sedang turun ke balik gunung. Seorang perempuan duduk termenung memandang
ke pohon beringin di tepi sungai itu. Akan tetapi pandangannya lain, daun-daun
beringin yang bergoyang itu tidak tampak pada matanya. Suara air yang
berbelok-belok tak kedengaran di telinganya. Angan-anganya sedang sibuk
mengigat masa lalu. “bagai mana tidak terbit air mata” tulisnya di sebuah
kertas kosong, “jika kekasih yang selalu dinanti, pergi dan tak akan
kembali”.
Selalin air
mata, adakah yang pantas mewakili kata
setelah suara
tak bergema lantaran tersumbat derita?
Kau wakilkan
dirimu pada serpih sepi
Pada udara,
tak ada nafasmu lagi
Pada tanah,
tak ada jejakmu lagi
Pada gelap,
tak ada cahayamu lagi
Cuma pada
kenang kau muncul kembali
Setiap
jengkal laku kita dulu telah di rekam oleh tanah, udara, cahaya
Sampai temu
pisah kita di simak batu dan kerikil
Itulah
mengapa melupakanmu adalah hal mustahil
Perempuan itu
menangis tersedu-sedu mengenang kekasihnya yang pergi lebih dulu.
“cplung…” tiba
tiba batu yang jatuh ke sungai membuyarkan lamunannya. Saeorang lelaki yang
berdiri tidak jauh darinya, masih setia melempar batu ke dasar sungai.
“Kata
Rasulullah, ujarku sambil tersenyum seraya membalikkan arah ke perempuan itu,
“kalau kita memandang orang tua atau orang shalih kita dapat pahala.” “Tapi
kalau kita memandang air, lalu kemudian teringat seseorang, apa gunanya?”
“Apakah dengan
mengingatnya dia akan kembali?”
“terima kasih”
ujar si perempuan datar. Dalam hatinya ia menyembunyikan senyum melihat tingkah
yang menurutnya lucu.
“Maaf…, aku
tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin mengembalikan kertas puisimu yang
kemaren kudapatkan disini” ujarku sambil menunjukkan puisi tersebut.
Tidak ada kata
yang keluar dari mulut si perempuan, hanya sebaris senyuman yang dijadikannya
sebagai balasan. Hari itu, untuk pertama kalinya dia tersenyum setelah
ditinggalkan tunangannya.
“siapa namamu?”
ujar si perempuan setengah teriak bertanya padaku yang sudah berjalan meninggalkannya.
“Syarifullah…”
Bersambung…
sumber foto: Kawan imut