Sabtu, 22 Februari 2014

Merebut Hati


Jika satu-satunya alat yang kau miliki adalah palu
Kau akan cenderung melihat segala hal sebagai paku
~Abraham H. Maslow~

nasehati aku di kala kita hanya berdua
jangan meluruskanku di tengah ramai
sebab nasehat di depan banyak manusia
terasa bagai hinaan yang membuat hatiku luka
-asy-Syafi’i, Diwan

Hadist itu begitu masyhur di otak kita. Dihafal ribuan orang. Terkadang menjadi pahlawan yang perkasa. “Qulil Haq”, “Katakan yang benar,” begitu Rasulullah bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar al-Ghiffari, “Meskipun pahit.”  Beberapa ulama fiqh memasukkan hadits ini dalam pembahasan Kitaabut Tijaaroh, kitab perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya.

Kita mendapat pelajaran berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika para pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi siapakah kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi yang mengucapkannya. Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang mengucapkannya merasa sakit, menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut. Kepahitan itu sama sekali bukan bagi yang mendengarnya. Sebab andai begitu, sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.

“Hari-hari ini,” kata Ustadz  Salim di bukunya dalam dekapan ukhuwah, “kita yang sedang penuh semangat hilir mudik ke sana-kemari untuk menebarkan kebenaran sesuai dengan apa yang kita fahami. Tetapi kadang tanpa sadar kita sebenarnya hanya menyakiti hati, memerahkan telinga, dan membuat sesak di dada. Orang-orang yang mendengar itu merasakan bahwa kita bukan membawa kebenaran bagi mereka. Kita hanya sekedar mengunjukkan diri sebagai yang paling benar, mengungkit-ungkit salah mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah, dan kadang juga kita merasa mempermalukan mereka.”

Apa dalil kita? Katakan yang benar meski pahit. Sayang sekali, agaknya kita agak meleset memaknainya. Yang benar belum tentu tersampaikan. Yang pahit sudah pasti dirasakan para penyimak kata-kata kita. Dengan begitu, disebabkan kesempitan ilmu, kita telah menjadi pemilik palu, dan merasa semua orang adalah paku. Astaghfirullohal ‘azhiim.

“Pemilik palu,” Masih kata Ustadz Salim “selalu beranggapan bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan.”  Bagi mereka, memenangkan debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang mempermalukan orang yang mereka cintai.

Dalam menyampaikan kebenaran, yang diperlukan adalah memenangkan hati. Bukan menaklukkan akal dengan memenangkan argument. Kita mengambil hikmah dari kisah Khalilullah Ibrahim A.S ketika berdebat dengan Namrud. Beliau memenangkan hujjah, membuat raja Namrud kehabisan kata-kata. Takluk. Tapi berimankah Namrud? Tidak! Dia justru geram dan menghukum Nabi Ibrahim dengan membakarnya. Kita belajar bahwa menyampaikan kebenaran, adalah masalah merebut hati.

Dalam menyampaikan kebenaran, sabda sang Nabi itu begitu memesona. “sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” kata sang Nabi, “Hendaklah berkata yang baik, Atau diam.”

“Baik itu” Kata seorang Ustadz dalam sebuah kesempatan “benar isinya. Indah caranya. Tepat waktunya. Bermanfaat dan berpahala disisi Allah. Jika tidak memenuhi keempat syarat, maka diam adalah lebih bijak.

Orang-orang yang menganggap bahwa memenangi argumentasi pada suatu saat jauh lebih penting daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.

Nah. Apakah di dalam diri kita, masih ada ciri pemilik palu ini? Subhanallah, hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Agaknya perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.

Ya Allaah…
Dalam berdakwah, ajari kami untuk memenangkan hati, bukan sekedar Hujjah. agar tak ada yang tersakiti ketika kami menyampaikan kebenaran.

Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar