Di perjalanan, pemuda itu biasanya menyapa dan mengajak bicara siapa saja yang duduk disampingnya. Setelah
itu tergantung lawan bicara; bila merasa nyaman, ia akan mengeluarkan kemampuan
terbaiknya untuk berakrab-akrab. Mereka
akan tenggelam dalam keasyikan bercengkrama.
Tapi, jika yang disapa merasa terganggu, dia kembali mengakrabi
buku-buku atau Al-Quran yang telah ia siapkan didalam tasnya.
Sore itu, pemuda itu
duduk tepat dibelakang sebelah kiri sang sopir. Tidak ada buku ataupun Qur’an
yang dibacanya. Dia juga tidak terlihat berakrab-akrab dengan orang
disampingnya. Tasnya pun masih rapi diatas asuhannya. Ada yang beda dari pemuda
itu, matanya terlihat sayu. Tatapannya layu. Mukanya pasi.
Diwajahnya, terukir jelas gurat-gurat kelelahan. Pikirannya melayang-layang ke
tanah air tempat lahirnya, Indonesia. Ia teringat ibu dan bapaknya yang bekerja
membanting tulang demi membiayainya kuliah di negeri kinanah, Mesir.
Matanya yang sayu
perlahan berkaca-kaca. Mukanya memerah. Ia dirundung rindu; kepada kedua orang
tuanya. Kepada kedua adiknya. Ia memejamkan mata dalam-dalam, menenangkan hati
yang sedang disinggahi rindu. Tiba-tiba teriakan pak kernet membuyarkan
lamunannya.
‘Asyir… ‘Asyir… ‘Asyir bawwabat…(nama daerah di madinah Nasr, Cairo)” teriak sang kernet berulang-ulang.
Meskipun kursi bus
sudah penuh bahkan melebihi muatan, tapi sang kernet tetap berteriak memanggil
para penumpang yang menuju districk
A’syir. Di depan pintu, terlihat seorang perempuan masuk berdesakan kedalam bus. Karena tidak
ada kursi kosong, permpuan itu terpaksa harus berdiri. Pemuda yang duduk paling
dekat dengan perempuan itu, merasa iba melihatnya. Dan memang sudah tabiat
orang mesir untuk mempersilakan duduk seorang perempuan jika melihatnya
berdiri.
“Silakan” kata pemuda
itu sambil tersenyum dengan tangan mengulur kearah kursi mempersilakan si
perempuan untuk duduk.
“terimakasih” jawab si
perempuan dengan senyuman yang tak kalah manisnya dengan senyum si pemuda.
***
Sore itu, bus merah itu
memang penuh padat. Para penumpang yang
berdiri terlihat berbaris rapi dengan tangan kanan keatas memengang tali.
Pemuda itu berdiri sambil memeluk tasnya. Sesekali, tasnya yang berat itu
diturunkannnya kebawah guna mengurangi rasa pegal di punggungnya. Tenaganya
berkurang karena terkuras setelah seharian belajar dan berktifitas di kampus.
“Sini saya bawakan
tasnya, biar enak” kata perempuan yang duduk tadi dengan lembut.
“nda usah mba. Nggak
papa kok.” kata pemuda itu dengan penuh keyakinan. “terima kasih” tambahnya
sambil tersenyum. (D)
***
“Kebaikan itu” kata
sang guru suatu ketika dengan wajah yang teduh “pasti berbuah”. “Orang yang
baik” lanjut sang guru “akan mengundang kebaikan-kebaikan yang lain untuk
datang menghampirinya”. Pemuda itu kini paham makna kata-kata hikmah yang disampaikan
gurunya. Dulu, pemahamannya masalah kata-kata itu masih mengambang. Perempuan
itu, telah mengajarinya dengan sempurna.
Ia juga teringat
kalimat di buku Hamasah fi udzuni asy
syabab yang dibacanya beberapa hari yang lalu. “perbaikilah” kata doktor
Syamsi basya dalam bukunya tersebut “ber-mu’amalah
dengan orang lain”. “karena manusia” kata beliau melanjutkan “tidak
melupakan keburukan seseorang meskipun Allah telah mengampuni dosanya”.
kejadian itu menghujani
kuncup pemahamannya hingga tumbuh mekar dan sempurna. Bagaikan dedaunan yang
dihujani embun pagi, wajah pemuda itu kembali cerah berseri. Seperti mendapat
energi tambahan, dia tak lagi merasa lelah berdiri. Namun, suara teriakan itu,
kembali merusak keceriaannya. Cahaya itu kembali meredup. Wajahnya berkerut
sambil menggelangkan kepala.
“Harami… Pencuri… hati-hati lelaki yang baju merah itu pencuri…”
teriak salah seorang penumpang bus asal Malaysia itu berbahasa melayu. Penumpang
bus yang berasal dari asia tenggara, menjauh dari laki-laki berbaju merah itu
sambil mengamankan barang bawaannya. Lelaki berbaju merah itu memasang muka tak
acuh. Tidak tahu kalau orang asia sedang membicarakan dan memperhatikannya. Ia
tak paham bahasa melayu.
***
Setelah
revolusi 25 januari, kodisi mesir memang tidak terlalu aman. Banyak pencurian
dan penipuan dimana-mana. Atas nama demokrasi mereka semaunya berekspresi.
Parahnya lagi, jika ada harami (baca;
maling) penumpang yang ada di bus hanya membiarkannya. “kalau di Indonesia”
kata pemuda itu bergumam dalam hati “sudah selesai maling ini”. “Hanya ada dua
kemungkinan; digebukin di tempat sampai mati. Atau babak belur kemudian
diserahkan kepolisi”. Astaghfirullah… tidak kalah seramnya.
***
~Bus
merah, Cairo 18 Februari 2014~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar