Kamis, 20 Februari 2014

Dua Sisi


Di perjalanan, pemuda itu biasanya menyapa dan mengajak bicara  siapa saja yang duduk disampingnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; bila merasa nyaman, ia akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk  berakrab-akrab. Mereka akan tenggelam dalam keasyikan bercengkrama.  Tapi, jika yang disapa merasa terganggu, dia kembali mengakrabi buku-buku atau Al-Quran yang telah ia siapkan didalam tasnya.

Sore itu, pemuda itu duduk tepat dibelakang sebelah kiri sang sopir. Tidak ada buku ataupun Qur’an yang dibacanya. Dia juga tidak terlihat berakrab-akrab dengan orang disampingnya. Tasnya pun masih rapi diatas asuhannya. Ada yang beda dari pemuda itu,  matanya  terlihat sayu. Tatapannya layu. Mukanya pasi. Diwajahnya, terukir jelas gurat-gurat kelelahan. Pikirannya melayang-layang ke tanah air tempat lahirnya, Indonesia. Ia teringat ibu dan bapaknya yang bekerja membanting tulang demi membiayainya kuliah di negeri kinanah, Mesir.

Matanya yang sayu perlahan berkaca-kaca. Mukanya memerah. Ia dirundung rindu; kepada kedua orang tuanya. Kepada kedua adiknya. Ia memejamkan mata dalam-dalam, menenangkan hati yang sedang disinggahi rindu. Tiba-tiba teriakan pak kernet membuyarkan lamunannya.

Asyir… ‘Asyir… ‘Asyir bawwabat…(nama daerah di madinah Nasr, Cairo) teriak sang kernet berulang-ulang.

Meskipun kursi bus sudah penuh bahkan melebihi muatan, tapi sang kernet tetap berteriak memanggil para penumpang yang menuju districk A’syir. Di depan pintu, terlihat seorang perempuan  masuk berdesakan kedalam bus. Karena tidak ada kursi kosong, permpuan itu terpaksa harus berdiri. Pemuda yang duduk paling dekat dengan perempuan itu, merasa iba melihatnya. Dan memang sudah tabiat orang mesir untuk mempersilakan duduk seorang perempuan jika melihatnya berdiri.

“Silakan” kata pemuda itu sambil tersenyum dengan tangan mengulur kearah kursi mempersilakan si perempuan untuk duduk.

“terimakasih” jawab si perempuan dengan senyuman yang tak kalah manisnya dengan senyum si pemuda.

***

Sore itu, bus merah itu memang penuh padat. Para penumpang yang  berdiri terlihat berbaris rapi dengan tangan kanan keatas memengang tali. Pemuda itu berdiri sambil memeluk tasnya. Sesekali, tasnya yang berat itu diturunkannnya kebawah guna mengurangi rasa pegal di punggungnya. Tenaganya berkurang karena terkuras setelah seharian belajar dan berktifitas di kampus.

“Sini saya bawakan tasnya, biar enak” kata perempuan yang duduk tadi dengan lembut.
“nda usah mba. Nggak papa kok.” kata pemuda itu dengan penuh keyakinan. “terima kasih” tambahnya sambil tersenyum. (D)

***

“Kebaikan itu” kata sang guru suatu ketika dengan wajah yang teduh “pasti berbuah”. “Orang yang baik” lanjut sang guru “akan mengundang kebaikan-kebaikan yang lain untuk datang menghampirinya”. Pemuda itu kini paham makna kata-kata hikmah yang disampaikan gurunya. Dulu, pemahamannya masalah kata-kata itu masih mengambang. Perempuan itu, telah mengajarinya dengan sempurna.

Ia juga teringat kalimat di buku Hamasah fi udzuni asy syabab yang dibacanya beberapa hari yang lalu. “perbaikilah” kata doktor Syamsi basya dalam bukunya tersebut “ber-mu’amalah dengan orang lain”. “karena manusia” kata beliau melanjutkan “tidak melupakan keburukan seseorang meskipun Allah telah mengampuni dosanya”.

kejadian itu menghujani kuncup pemahamannya hingga tumbuh mekar dan sempurna. Bagaikan dedaunan yang dihujani embun pagi, wajah pemuda itu kembali cerah berseri. Seperti mendapat energi tambahan, dia tak lagi merasa lelah berdiri. Namun, suara teriakan itu, kembali merusak keceriaannya. Cahaya itu kembali meredup. Wajahnya berkerut sambil menggelangkan kepala.

Harami… Pencuri… hati-hati lelaki yang baju merah itu pencuri…” teriak salah seorang penumpang bus asal Malaysia itu berbahasa melayu. Penumpang bus yang berasal dari asia tenggara, menjauh dari laki-laki berbaju merah itu sambil mengamankan barang bawaannya. Lelaki berbaju merah itu memasang muka tak acuh. Tidak tahu kalau orang asia sedang membicarakan dan memperhatikannya. Ia tak paham bahasa melayu.

***

Setelah revolusi 25 januari, kodisi mesir memang tidak terlalu aman. Banyak pencurian dan penipuan dimana-mana. Atas nama demokrasi mereka semaunya berekspresi. Parahnya lagi, jika ada harami (baca; maling) penumpang yang ada di bus hanya membiarkannya. “kalau di Indonesia” kata pemuda itu bergumam dalam hati “sudah selesai maling ini”. “Hanya ada dua kemungkinan; digebukin di tempat sampai mati. Atau babak belur kemudian diserahkan kepolisi”. Astaghfirullah… tidak kalah seramnya.

***

~Bus merah, Cairo 18 Februari 2014~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar