Senin, 24 Maret 2014

Memeluk Cahaya (I)


Si raja siang itu telah menenggelamkan dirinya di laut Jawa. Mega merah di ufuk barat telah ditaklukkan oleh kegagahan tentara malam. Angin tenggara begitu derasnya menyibak awan-awan hitam. Bebereapa saat kemudian muncullah si ratu malam yang menyapa penduduk desa dengan cahaya senyumnya. Malam itu tepat malam ke 15 di bulan Muharram.

 Maling…! Maling…! Maling…!

Dari ujung desa terdengar suara keras penduduk membelah langit. Mereka mengejar empat sekawan yang melarikan diri setelah ketahuan mencuri. Dari jauh, empat sekawan itu sesekali menengok kebelakang melihat orang-orang bagai pemburu yang siap menerkam mereka dengan tombak dan parangnya.

Seorang kawan terpisah dari rombongannya. Ia tertinggal. Tak tahu arah jalan. Sedang pemburu sebentar lagi akan mengetahui keberadaannya.  Badannya basah bermandikan keringat. Hatinya ciut. Dia memalingkan badan kearah kiri kemudian terus berlari hingga masuk ke sebuah mesjid. Mengambil bagian pojok sebelah kiri mesjid untuk bersembunyi seraya duduk menyandarkan diri. Badannya loyo. Tatapannya layu. Matanya sayu. Tubuhnya menggigil. Ketakutan.  Hatinya memikul beban berat setelah lolos dari pelarian.

Ternyata dia tidak sendirian di mesjid itu, dia tak sadar lagi dengan sekitarnya. Di mesjid itu seorang kiyai komat-kamit melantunkan dzikir.

Assalamualaikum… Pak Kiyai” seorang polisi memanggil Kiyai dengan nafas tersengal.
Waalaikum salam…, ada apa malam-malam begini menemui saya” jawab sang kiyai.
“Adakah pak kiyai melihat seorang pencuri masuk ke mesjid ini?” tanyanya mantap.
“Sebab saya melihat dia lari kesini” ujar seorang di sampingnya.
“Tidak ada” ujar Kiyai “aku hanya sendiri disini” tuksanya pendek.
“ya sudah” ujar polisi tegas. “Kalau bapak melihatnya” ujarnya meminta, “mohon beri tahu kami” tutupnya sambil memalingkan diri lalu pergi.
Sang kiyai lalu kembali ketempat semula melanjutkan wirid-nya. Lelaki di pojok masjid tersadar kalau dia diselamatkan oleh kiyai. Merasa sudah aman, bagai kepala penyu keluar dari kangkangnya ia perlahan keluar mencoba melarikan diri.

“mana ada orang jahat masuk ke mesjid” ujar kiyai mengagetkan lelaki yang mencoba melarikan diri itu. “orang yang masuk ke mesjid itu tamunya Allah” lanjut sang kiyai sambil beranjak dari tempat duduknya. “mereka pasti orang baik, atau orang yang hendak berbuat baik”. Tukas kiyai dengan senyum penuh ketenangan.

Lelaki yang berdiri di depan pintu itu terdiam bagai batu. Hatinya berkecamuk. Bebannya makin berat. Dia memalingkan diri, lalu berlari dan tersungkur di hadapan kiyai. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Apakah Allah…,” katanya terbata-bata, “akan mengampuni dosa-dosaku kiyai?!” ucapnya tersedu-sedu. Dia menghirup nafas dalam-dalam kemudian berucap, “Dosaku menggunung lebih banyak dari buih dilautan” ujarnya.

“Iblis itu ingkar kepada Allah, tapi permintaannya dikabulkan” ujar kiyai tersenyum menenangkan. “apatah lagi manusia” lanjutnya, “ yang penuh kekurangan, Ia lebih berhak mendapatkannya”. 

Setitik cahaya menyusup masuk ke dada si lelaki, matanya berbinar terang. Dadanya lapang. Hatinya tenang. Bebannya hilang.  Matanya berkaca-kaca menyesali segala perbuatannya.

“kau tinggal dimana?” tanya kiyai setelah si lelaki bisa menguasai dirinya.
“aku tak punya rumah” ujarnya sambil mengusap air mata.
“tinggallah di rumahku” ujar kiyai sambil menepuk pundak si lelaki.
“terima kasih” ujar pemuda seraya mencium tangan kiyai.

Malam itu adalah malam hijrah si lelaki. Dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Dari kebodohan menuju dunia ilmu yang luas membentang. Malam itu, lelaki itu terlahir kembali sebagai muslim seutuhnya. Hatinya sangat bahagia bisa menghirup udara pesantren milik sang kiyai.
***

“Hari ini” ujarku kepada sahabatku Hafidz, “tepat tiga tahun sudah aku di pesantren ini”.
“Teruslah mengajar disini” ujar hafidz sambil membuka kitab bulughul maram-nya, “santri di sini semakin membutuhkan bimbinganmu”.
“Itulah masalahnya Fidz…, tadi malam, pak kiyai menyuruhku untuk berdakwah ke kampung sebelah” ujarku membuka percakapan, “waktuku jadi berkurang di pondok ini.”
“lha…  bagus dong? itu artinya pak yai sudah mempercayaimu” ujar Hafidz membenarkan pendapat kiyainya.
”Percaya gimana? Ilmuku kan masih sedikit” ujarku mengelak.
“sudahlah” ujar Hafidz, “pak kiyai pasti punya maksud baik menyuruhmu”. “Jalani saja” tutupnya datar.
***

Kota Amuntai siang itu menampakkan kegagahannya. Jalanan macet. mobil mengular bermeter-meter. Hari itu aku pulang dari kampung sebelah setelah berdakwah pertama kali. Aku menaiki angkot yang kebetulan hanya ada seorang perempuan di dalamnya.
“Assalamualaikum” ujarku menyapanya.
Wanita itu hanya tersenyum tidak membalas salamku. Sejak itu, aku selalu mempunyai alasan untuk gagal menyapanya, ditambah lagi suara angkot butut yang bising merebut pembicaraan kami.

Angkot itu akhirnya berhenti di bawah pohon besar, tepat berseberangan dengan pintu gerbang pesantren. Aku pun langsung turun dan membayar ongkos angkot. Perempuan itu juga ternyata turun di tempat yang sama denganku. Setelah membayar ongkos, tanpa sepatah kata pun dia langsung masuk menuju pesantren. Aku heran. Penasaran. Siapakah perempuan itu?
***

“Dia itu anak tunggal pak kiyai” ujar Hafidz memotong ceritaku.
“Lho? Pak kiyai punya anak ya Fidz?” ujarku malu karena berani menyapanya.
“Iya…, serkarang dia berduka, sebab lelaki yang meminangnya baru saja meninggal dunia”. “kata pak kiyai” ujar Hafidz melanjutkan, “dia sekarang lebih suka menyendiri dan menghabisklan waktunya di pinggir sungai yang ada di belakang pesantren ini.
***

Burung-burung berterbangan kesana kemari, seraya hinggap di reranting beringin yang berdaun rimbun. Mereka bernyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada si raja siang yang sedang turun ke balik gunung. Seorang perempuan duduk termenung memandang ke pohon beringin di tepi sungai itu. Akan tetapi pandangannya lain, daun-daun beringin yang bergoyang itu tidak tampak pada matanya. Suara air yang berbelok-belok tak kedengaran di telinganya. Angan-anganya sedang sibuk mengigat masa lalu. “bagai mana tidak terbit air mata” tulisnya di sebuah kertas kosong, “jika kekasih yang selalu dinanti, pergi dan tak akan kembali”. 
Selalin air mata, adakah yang pantas mewakili kata
setelah suara tak bergema lantaran tersumbat derita?
Kau wakilkan dirimu pada serpih sepi
Pada udara, tak ada nafasmu lagi
Pada tanah, tak ada jejakmu lagi
Pada gelap, tak ada cahayamu lagi
Cuma pada kenang kau muncul kembali
Setiap jengkal laku kita dulu telah di rekam oleh tanah, udara, cahaya
Sampai temu pisah kita di simak batu dan kerikil
Itulah mengapa melupakanmu adalah hal mustahil
Perempuan itu menangis tersedu-sedu mengenang kekasihnya yang pergi lebih dulu.
“cplung…” tiba tiba batu yang jatuh ke sungai membuyarkan lamunannya. Saeorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya, masih setia melempar batu ke dasar sungai.
“Kata Rasulullah, ujarku sambil tersenyum seraya membalikkan arah ke perempuan itu, “kalau kita memandang orang tua atau orang shalih kita dapat pahala.” “Tapi kalau kita memandang air, lalu kemudian teringat seseorang, apa gunanya?”
“Apakah dengan mengingatnya dia akan kembali?”
“terima kasih” ujar si perempuan datar. Dalam hatinya ia menyembunyikan senyum melihat tingkah yang menurutnya lucu.
“Maaf…, aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin mengembalikan kertas puisimu yang kemaren kudapatkan disini” ujarku sambil menunjukkan puisi tersebut.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut si perempuan, hanya sebaris senyuman yang dijadikannya sebagai balasan. Hari itu, untuk pertama kalinya dia tersenyum setelah ditinggalkan tunangannya.
“siapa namamu?” ujar si perempuan setengah teriak bertanya padaku  yang sudah berjalan meninggalkannya.
“Syarifullah…”
Bersambung…

sumber foto: Kawan imut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar