Jika
satu-satunya alat yang kau miliki adalah palu
Kau
akan cenderung melihat segala hal sebagai paku
~Abraham
H. Maslow~
nasehati
aku di kala kita hanya berdua
jangan
meluruskanku di tengah ramai
sebab
nasehat di depan banyak manusia
terasa
bagai hinaan yang membuat hatiku luka
-asy-Syafi’i,
Diwan
Hadist itu begitu
masyhur di otak kita. Dihafal ribuan orang. Terkadang menjadi pahlawan yang
perkasa. “Qulil Haq”, “Katakan yang
benar,” begitu Rasulullah bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar
al-Ghiffari, “Meskipun pahit.” Beberapa
ulama fiqh memasukkan hadits ini dalam pembahasan Kitaabut Tijaaroh, kitab perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang.
Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan
barang dagangannya.
Kita mendapat pelajaran
berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika para
pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi siapakah
kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi yang mengucapkannya.
Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang mengucapkannya merasa sakit,
menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut. Kepahitan itu sama sekali bukan
bagi yang mendengarnya. Sebab andai begitu, sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.
“Hari-hari ini,” kata
Ustadz Salim di bukunya dalam dekapan ukhuwah, “kita yang sedang
penuh semangat hilir mudik ke sana-kemari untuk menebarkan kebenaran sesuai
dengan apa yang kita fahami. Tetapi kadang tanpa sadar kita sebenarnya hanya menyakiti
hati, memerahkan telinga, dan membuat sesak di dada. Orang-orang yang mendengar
itu merasakan bahwa kita bukan membawa kebenaran bagi mereka. Kita hanya
sekedar mengunjukkan diri sebagai yang paling benar, mengungkit-ungkit salah
mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah,
dan kadang juga kita merasa mempermalukan mereka.”
Apa dalil kita? Katakan
yang benar meski pahit. Sayang sekali, agaknya kita agak meleset memaknainya.
Yang benar belum tentu tersampaikan. Yang pahit sudah pasti dirasakan para
penyimak kata-kata kita. Dengan begitu, disebabkan kesempitan ilmu, kita telah menjadi
pemilik palu, dan merasa semua orang adalah paku. Astaghfirullohal ‘azhiim.
“Pemilik palu,” Masih
kata Ustadz Salim “selalu beranggapan bahwa situasi jauh lebih penting daripada
hubungan.” Bagi mereka, memenangkan
debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak tersakiti.
Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu keadaan jauh
lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang mempermalukan
orang yang mereka cintai.

Dalam menyampaikan
kebenaran, yang diperlukan adalah memenangkan hati. Bukan menaklukkan akal
dengan memenangkan argument. Kita mengambil
hikmah dari kisah Khalilullah Ibrahim
A.S ketika berdebat dengan Namrud. Beliau memenangkan hujjah, membuat raja Namrud kehabisan kata-kata. Takluk. Tapi
berimankah Namrud? Tidak! Dia justru geram dan menghukum Nabi Ibrahim dengan
membakarnya. Kita belajar bahwa menyampaikan kebenaran, adalah masalah merebut
hati.
Dalam menyampaikan
kebenaran, sabda sang Nabi itu begitu memesona. “sesiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir” kata sang Nabi, “Hendaklah berkata yang baik, Atau diam.”
“Baik itu” Kata seorang
Ustadz dalam sebuah kesempatan “benar isinya. Indah caranya. Tepat waktunya. Bermanfaat
dan berpahala disisi Allah. Jika tidak memenuhi keempat syarat, maka diam
adalah lebih bijak.
Orang-orang yang
menganggap bahwa memenangi argumentasi pada suatu saat jauh lebih penting
daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih
bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang
Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah
rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu
menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.
Nah. Apakah di dalam
diri kita, masih ada ciri pemilik palu ini? Subhanallah, hanya memiliki palu,
dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah yang
gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Agaknya perlu kerja keras untuk
menyuburkannya kembali.
Ya Allaah…
Dalam berdakwah, ajari
kami untuk memenangkan hati, bukan sekedar Hujjah.
agar tak ada yang tersakiti ketika kami menyampaikan kebenaran.
Wallahu A’lam.