Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat
ramai, orang-orang bak bebek yang
berbaris rapi mengular hingga ruang penjemputan. Aku keluar dengan hati yang
penuh sesak, sepuluh tahun sudah. Ya, sepuluh tahun sudah aku tak menginjakkan
kaki di Indonesia. Mataku berkaca-kaca, perasaan yang ada di dalam dadaku tidak
dapat diterjemahkan dengan kata sebab kata hanya akan mempersempit makna.
Kabut dingin membungkus lembut bandara dan
sekitarnya.
Aku keluar bandara sambil menarik koper dan
tas ranselku. Di luar, temanku Burtuqal sudah menungguku, dia
melambai-lambaikan tangan seakan mengisyaratkan, hei Mi, aku di sini. Aku
bergegas menuju temanku itu, seketika dia menghambur dan memelukku erat-erat.
Kami haru, menangis.
“Gila Bro!, sepuluh tahun nggak
pulang-pulang, nggak kangen lho sama gue?” Burtuqal melepaskan
pelukan sambil mendorong bahuku, kami tertawa.
“Isy isy isy… sepuluh tahun kutinggalkan gaya
bahasamu masih alay seperti itu?” aku menggeleng-gelengkan kepala, gagal
paham.
Kami tertawa. Semacam ada kode dan kata sandi
yang apabila diucapkan membuat kami langsung paham dan ingat masa lalu
persahabatan kami. 15 menit berlalu, rintik-rintik kangen sudah mulai reda. Aku
sudah menguasai keadaan.
“Ayo kita langsung pulang, kamu pasti
kelelahan 12 jam di pesawat”
“Naik apa?”
“Udah, gampang itu, aku udah nyewa mobil kok”
“Oke”.
Pukul 4 pagi, mobil yang kami kendarai
membelah sunyi malam Jakarta. Mobil sedan itu melaju, belok kiri, melewati tol dengan
gagah menerobos kabut pagi, berbelok ke kiri lagi hingga sampai ke tempat
tujuan. Kami hanya berdiam sepanjang perjalanan, aku lelah.
***
“Assalamu’alaikum,
Ical, kamu sibuk nggak hari ini? Aku
ingin memperbaharui KTP-ku, 5 tahun yang lalu masa berlakunya habis.”
“Oke,
nanti jam 8 aku jemput ke rumahmu.”
“Makasih, Cal, aku sudah lama tidak di Indonesia jadi sudah lupa dan sungkan berurusan
dengan petugas KTP,” aku menutup telepon.
Aku
merebahkan tubuhku di kasur, rasa lelah masih setia menemaniku. Aku ingin
mengistirahatkan tubuhku sebelum dijemput Burtuqal jam 8 nanti. Suara motor
cukup bising di luar sana. Mataku terasa berat, ingin terlelap.
“Tok… Tok… Tok,” kudengar ada suara mengetuk
pintu.
“Tok…Tok..Tok…Tototok…,” suara itu semakin
mengeras, tidak berhenti memukul daun pintu.
Aku bergegas keluar, mukaku tiba-tiba memerah, gigiku bergemeretak, jika
ada 10 level tingkat kemarahan, kemarahanku saat itu sudah mencapai level 10.
Orang mau istirahat diganggu, mengetuk pintu tak tahu sopan santunnya pula.
Daun pintu kubuka, hampir saja orang yang
mengetuk pintu itu menepuk jidatku untungnya aku sigap menghindar bagai kodok yang meloncat dengan cepat. Dua orang berdiri di depan pintu,
seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tertegun menatap lamat-lamat sosok
lelaki yang berdiri di depanku, mataku menyapu bersih dari ujung rambut hingga
ujung sepatunya. Di sampingnya seorang perempuan berdiri anggun menghadap ke
jalan raya, membelakangiku.
“Siapa lelaki berambut ikal dan berkulit
kuning langsat ini? Dan perempuan itu…” aku melamun.
“Mi…” lelaki itu berteriak seraya menghambur ingin memelukku. Aku tentu
saja menghindar, bisa-bisanya orang yang mau kuterkam, kumarahi habis-habisan, eh seenaknya ingin memelukku. Dia
heran. Aku heran. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.
“Thomatim? Hei, aku hampir saja lupa rupamu”
kami akhirnya berpelukan erat.
“Hampir lupa? Kau bahkan sudah benar-benar
lupa Mi,” ujarnya masih terbahak-bahak.
“Sepuluh tahun tak bertemu, kamu berubah
360 derajat, dulu kamu tuh hitam, pendek, ikal, dekil lagi, eh sekarang udah
kayak pejabat aja.” Aku masih tidak percaya bertemu dengan Thomatim, teman SMA-ku
sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar Mi, saya punya kejutan buat kamu,”
Thomatim memanggil perempuan yang dari tadi hanya melihat kendaran berlalu-lalang,
tak sedikitpun menghiraukan kami.
Perempuan itu, oi, tubuhnya tinggi semampai,
kerudungnya panjang menjuntai, aku kenal betul dengan perempuan itu, Mazbalah, si
bunga desa, pujaan semua lelaki, dia adik kelasku waktu SMA dulu. Tak ada
lelaki yang tidak tertarik dengannya, termasuk aku. Demi melihatnya tersenyum,
aku sampai lupa mempersilakan mereka untuk duduk.
“Ayo masuk, silakan duduk,” ujarku setelah
menguasai keadaan.
Kami mengobrol santai, bercanda, sesekali aku
menceritakan kesibukanku kuliah di luar negeri, hingga Mazbalah mengeluarkan
kata-kata itu, kata awal yang akan kuingat hingga akhir hayatku.
“Kakak sepuluh tahun di luar negeri makin
ganteng deh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kamu juga,” ujarku tersipu.
“Hei, Kak! Sepuluh tahun tidak berjumpa kakak,
aku tetap perempuan lho,” dia tidak terima.
Aku tersenyum. Dia tersenyum, kali ini
terlihat lebih ikhlas.
“Masih rajin nulis di blog?”
“Iya, Udah nerbitin buku malah.
Alhamdulillah semua best seller.”
“Wah, sudah mapan dong, sudah saatnya nikah,”
Thomatim tiba-tiba memotong pembicaraan kami, “aku saja sudah nikah,” ujarnya
bangga.
“Dengan siapa?” Aku heran, perasaan tidak
pernah dia memberi kabar.
“Itu, dengan perempuan yang di depanmu,”
ujarnya santai.
Aku meneguk ludah, berusaha tak percaya.
Badanku lemas seketika. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, alam sekitar
mengisyaratkan kalau aku pulang ke Indonesia maka aku akan bahagia. Tapi inilah
yang terjadi, faktanya Thomatim memang telah menikah dengan Mazbalah, cincin
pernikahan mereka kokoh melekat di jari masing-masing. Oi, puisi-puisi yang
kutulis, surat-surat tak sampai yang kukarang, buku-buku yang kuterbitkan,
andai kau tau itu semua untukmu, Mazbalah. Ah, ranting kelapa kini patahlah
sudah, perasaan yang kupendam bertahun-tahun kini tak akan bertemu muaranya.
Aku tak semangat lagi meneruskan canda dengan mereka, hatiku patah,
berlipat-lipat.
“Kamu itu sudah 28 tahun lho, Mi, apalagi
yang kamu tunggu?” semangat betul Thomatim mengompori aku agar segera menikah, untung
saja Burtuqal datang di saat yang tepat. Aku selamat dari bully mereka.
***
“Mau ke mana kita bos?” Burtuqal nyengir
dengan air muka santainya, masih saja dia suka memanggil aku dengan sebutan bos,
selera humornya masih tetap seperti dulu, tidak berubah.
“Kita ke kantor kelurahan dulu, aku mau
memperbaharui KTP.” kataku mantap
Kami berempat akhirnya menuju kantor kelurahan
menggunakan mobil yang disewa Burtuqal, aku duduk di depan di samping Burtuqal
yang asik menyetir, kursi di belakang diduduki Thomatim dan istrinya, siapa? Istrinya?
Ah, sakit sekali hatiku menyebutnya.
Mobil kami terus melaju melewati gang-gang
kecil, membelah perumahan, hingga akhirnya sampai ke kelurahan.
“Sudah sampai,” Burtuqal mengisyaratkan.
“Kenapa tidak turun?” aku balik bertanya, “temenin
aku dong.”
“Sudah 28 tahun masih minta temenin
bikin KTP?” Thomatim sengaja betul menyindir usiaku, belum puas nampaknya dia
menyakitiku. Tunggu saja pembalasanku.
Aku keluar mobil dengan muka masam, kesal,
berjalan gontai menuju kantor kelurahan. Tiba-tiba seorang perempuan menyapaku,
senyumnya manis. Setidaknya cukup untuk mengobati kekecewaanku terhadap dua
sahabatku itu. Apa? Sahabat? Bahkan mereka selalu mengerjaiku.
Aku dikasih nomor urut dan air mineral untuk
menunggu giliran. Tiga menit, tiba giliranku. Aku disapa dengan senyum,
petugasnya bekerja dengan gesit, tidak lelet apalagi berlama-lama. Semua petugas
sibuk melayani tidak internetan apalagi membuka Facebook. 15 menit, selesai.
“ini Pak, sebagai terima kasih,” Aku
menyodorkan uang seratus ribuan.
“Maaf Pak, kami tidak menerima uang tips,”
“Hah? Tapi ini hanya tanda terima kasih
karena dilayani dengan baik,” aku protes.
“Maaf Pak, sudah tugas kami melayani dengan
baik, sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih berhak.”
“Whattt???”
Aku seperti bermimpi, sepuluh tahun yang
lalu, ketika mengurus surat pengantar nikah untuk kakakku bahkan petugasnya meminta
uang 50 ribu. Kalau tidak diberi, maka surat pengantar nikahnya juga tidak
diberi. Kan nggak lucu gagal nikah gara-gara tidak ada surat pengantar?
Aku berjalan kembali menuju mobil, kali ini
emosiku sudah stabil.
“gimana? Mudahkan?” Thomatim menggodaku. Aku hanya
diam, tidak menghiraukannya.
“Kita keliling-keliling Jakarta dulu, sudah
lama kan tidak melihat keindahan Jakarta?” Burtuqal masih serius dengan
setirnya.
“Eh, kalau ngajak bercanda jangan berlebihan,
hari libur gini mau keliling Jakarta, mending tidur di rumah, lebih sejuk,” aku
menolak ajakan tidak masuk akal Burtuqal.
“Kak Haromi kan sudah lama tidak melihat Jakarta,
sekali-sekalilah kita keliling Jakarta bersama-sama seperti sepuluh tahun dulu,”
suara itu, oi, sakit sekali hatiku mendengar Mazbalah berbicara, aku kembali
teringat pernikahan mereka.
Aku terdiam, menunduk menekuri ujung kaki,
buru-buru kubuang niat burukku pada kedua sahabatku, aku ingat kata nenek dulu,
“salah satu syarat mutlak agar kau bahagia adalah, kau bahagia dan (memang)
berbahagia melihat orang lain (teman, saudara bahkan musuh) hidup lebih
beruntung. Bukan malah dengki, apalagi kepada teman sendiri, oi, itu jahat
sekali.”
Mobil kami menerobos membelah gagahnya
gedung-gedung Jakarta, aku melirik kiri-kanan, bersih, tidak ada sampah. Bahkan
ketika lampu merah, aku melihat motor mengantri tertib di belakang mobil,
padahal celah lebar ada di depannya.
“Kenapa? Bingung?” Burtuqal seperti paham
raut wajahku, “Jakarta sekarang bahkan tidak perlu polisi lalu lintas lagi,
semua orang dengan senang hati mentaati ketertiban.” Burtuqal panjang lebar
menjelaskan. Aku mengangguk pura-pura percaya.
Benar saja, memang sepanjang
jalan tak ada polisi dan tak ada pelanggaran. Aku melongo tak percaya. Sepuluh tahun
yang lalu bahkan banyak yang parkir sembarangan, melawan arus, membuat
kebisingan dengan memencet klakson. Sekarang? Oi, aku menepuk jidat memastikan
bahwa tidak sedang bermimpi.
Kami kini tepat melintasi sebuah jembatan di
atas sungai Ciliwung. Angin sejuk menerpa wajah, kami sengaja membuka jendela
mobil, sebab udara alami sungguh lebih sehat daripada AC. Dan lagi-lagi saya tertegun,
tidak ada polusi udara.
“Eh, sejak kapan anak-anak mandi dan bermain
di kali Ciliwung yang nampak berbeda? Kita harus turun,” kali ini aku memaksa
mereka semua untuk turun.
Kami tiba di tepi kali, menikmati sejuknya
angin tepian sungai. Ciliwung benar-benar bersih.
“Eh, ada Pak Gubernur…” seorang anak berlari
diikuti anak-anak yang lain, juga sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka antri
menyalami Thomatim.
“Eh???” aku bingung.
“Tidak usah bingung,” Burtuqal menepuk
bahuku, “4 tahun yang lalu Thomatim terpilih menjadi gubernur Jakarta.”
“Dan Burtuqal kutunjuk sebagai kontraktor,”
ujar Thomatim nyengir sambil merangkul istrinya, “Kau lihatkan hasil kerjanya
selama 4 tahun? Menakjubkan bukan?” mereka tersenyum.
Saya menggigit-gigit wortel tidak percaya
dengan yang saya lihat. Pertanyaannya: 'dari mana saya dapat wortel?'
***
“Sungguh
benar ujar pepatah bijak dahulu, semua akan berubah, alam akan berubah, bumi
akan berubah, air laut akan berkurang atau bertambah, gunung akan meletus atau
runtuh, hanya satu yang tidak akan berubah, apakah itu? perubahan itu sendiri”