Kamis, 21 Agustus 2014

Oase


Kita seringkali lupa, bahwa untuk merasakan manisnya gula, kita perlu mencicipi garam. Begitu pula tentang bahagia, untuk mengenalnya, barangkali kita harus tahu bagaimana rasanya sakit. Pepatah dari gurun sana pernah bilang, “Bididdihaa, Ta,rifil Asyyaa…” justru dengan antonimnya, kita akan mengetahui hakikat sesuatu.
Suka-duka, pahit-manis, getir-bahagia, adalah dua sisi kehidupan yang tidak dapat kita hindari. Rasa takut, atau bahkan lari dari kenyataan, tidak akan menyelamatkan dari takdir Tuhan. Jalani, hadapi, biarlah Dia yang meng-ATAS-i.
Terhadap takdirNya, tak ada protes, tak ada keberatan. Sebab, yang kita lihat, belum tentu seperti yang kita bayangkan. Yang kita pikirkan, belum tentu seperti yang Dia inginkan.
Read More..

Minggu, 10 Agustus 2014

Wawancara


Bagaimana perasaan anda berdua setelah resmi mendaftar menjadi calon PPMI I dan PPMI II?

Pertama-tama, kami mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Informatika yang bersedia mewawancarai kami. untuk menyebar luaskan berita terhangat, terkini dan teraktual yang sangat dibutuhan Masisir. Alhamdulillah kami telah mendaftar kembali pukul 6.30 dengan melengkapi 5 paspor yang kurang sebelumnya. Diperkirakan malam ini pukul 7.15 ini kita akan mengikuti screening, dan mudah-mudahan kami bisa melewatinya dengan lancar. Setelah ini kami akan mencoba berdinamika dalam keorganisasian.

Apa motivasi terbesar anda berdua sehingga tertarik mencalonkan diri menjadi PPMI I dan II?
Motivasi kami berangkat dari keinginan untuk menyambung estafet nilai-nilai yang telah dibangun oleh Pak Amrizal dari kepengurusan dan kepemimpinannya. Banyak sekali nilai-nilai dan ruh-ruh baru yang ia usung dengan al-Azhar, dari sinilah kami berdua merasa terpanggil, karena kebetulan kami juga pelaku dalam hal ini, alangkah baiknya kita mengestafetkan ini untuk saling sambung menyambung dalam hal nilai-nilai kebaikan.
Indonesia sebenarnya memiliki benteng yang sangat kuat dalam menahan hancurnya akhlak, benteng itu adalah lembaga pendidikan yang disini diwakili oleh Almamater, kami melihat komunikasi antar Almamater saat ini belum optimal. Maka kami terdorong untuk memaksimalkan silaturrahim antar Almamater dalam berbagai bidang, agar nanti ketika sudah pulang ke Indonesia kita saling mengenal dan memperkokoh benteng akhlak itu.

Untuk orang, kira-kira ada nggak seseorang yang memotivasi anda berdua?
Tentunya langsung dari guru-guru. Kami termotivasi oleh senyumnya syeikh ‘Ala atau Syeikh Jailani yang sumringah ketika dikunjungi oleh banyaknya mahasiswa Indonesia. Kami lebih banyak termotivasi dari rohaniah. Kami kadang-kadang juga ikut talaqqi di Al-Azhar, sehingga ketika kami di PPMI, semoga bisa lebih banyak mengajak kawan-kawan untuk ikut talaqqi ke Al-Azhar.

Dengar-dengar anda berdua sempat sama-sama ngotot untuk menjadi PPMI I, sekarang malah menjadi pasangan, kita kira apa yang menyebabkan seperti itu?
Kabar itu menguap karena waktu itu kami belum ada komunikasi, setelah duduk bareng, ngobrol, ternyata impian kita sama, visi misi sama, meski dari latar belakang yang berbeda, bahkan kami saling melengkapi, satu dari pondok modern satu dari pondok salaf, satu lahir di jalanan, satu lagi lahir dengan managemen waktu yang luar biasa, jadi kami jatuh cinta di komunikasi pertama. Dan menurut kami PPMI I dan II itu hanyalah simbol, toh kami akan berjalan seimbang, tinggal bagaimana menagemennya. Menurut kami ini adalah skenario Allah SWT, sehingga kami dipasangkan menjadi PPMI I dan II.

Bagaimana visi dan misi anda berdua secara umum?
Untuk visi, kita menginginkan Masisir yang berkarakter Azhari,  komunikatif dan harmoni, karena al-Azhar adalah kiblat keilmuan kita. Untuk misi, sebenarnya adalah penjabaran dari visi tersebut, kita ingin memfungsikan PPMI untuk benar-benar menjadi media pembentukkan karakter Masisir dan menghubungkan Masisir dengan Al-Azhar. Kami hanyalah perpanjangan tangan dari Al-Azhar, semua berpusat di sana. Jadi semua dinamika yang ada di Masisir, akan kita arahkan kembali lagi ke manhaj Azhari yang moderat.
Yang kedua, untuk memaksimalkan peran PPMI sebagai mitra yang baik bagi intra PPMI, intra di sini seperti MPA, Kekeluargaan, Almamater dll. Juga terhadap Al-Azhar secara struktual, KBRI, PPI dunia lainnya. Jadi intinya kita ingin memaksimalkan peran PPMI dari intra, mitra dan ekstra mitra PPMI.
Yang ke tiga, kami ingin fungsi PPMI sebagai pelayan masyarakat itu benar-benar dirasakan oleh seluruh elemen, bukan sebagai pejabat.

Banyaknya jumlah masisir, tentunya juga akan menghadirkan permasalahan-permasalahan yang kompleks, sudahkah anda-anda membaca peta permasalahan tersebut? Bagaimana mengatasinya?
Hadirnya kami di sini bukan tanpa persiapan. Ini hasil perjalanan panjang, dari shalat istikhoroh dan pembacaan apakah kami sanggup menanggung itu semua. Dari pembacaan pemetaan yang ada, jangankan semasisir, dalam satu rumah pun ada masalah-masalah itu. Disinilah adanya visi kami: komunikatif. Perbedaan itu wajar, namun (yang penting) bagaimana kita mengahadapi perbedaan itu agar tujuan akhir harmoni itu tercapai. Kita juga akan mendekatkan diri kepada kawan-kawan sekaligus meminta masukan, kritikan dan saran dari mereka, jadi kami bukan PPMI yang eksklusif. Sekali lagi kami bukan pejabat, kami hanya ingin belajar melayani masyarakat.

Menurut anda berdua, kira-kira apa saja kekurangan-kekurangnya yang ada  di Masisir secara umum?
Manusia itu tidak ada yang sempurna. Sebenarnya bukan kekurangan hanya saja belum sempurna. Kita disini menuntut ilmu di al-Azhar Mesir, tapi terkadang kita lupa akan kebutuhan yang kita butuhkan ketika di Indonesia, contohnya komputerisasi, tulis-menulis dan belajar bermasyarakat. Masisir juga mempunyai kecenderungan masing-masing, seharusnya bisa menyeimbangkan antara organisasi dan belajar.
Setelah melihat ketidaksempurnaan Masisir, dimulai dari kami berdua akan instropeksi diri, membenahi intra PPMI, baru kemudian bisa memberi contoh kepada Masisir.

Seperti yang telah diketahui, tahun ini Masisir mempunyai relasi yang baik dengan al-Azhar, lalu bagaimana dengan relasi Masisir dengan Indonesia sendiri?
Relasi kita dengan Indonesia cukup baik, namun tidak semua orang tahukarena belum merasakannya. Tahun lalu kita mempelopori adanya Semesta manulis, dari sini kita juga mencoba membangun relasi dengan Republika, penerbit Alif dan RRI, inilah wujud relasi kita dengan Indonesia, yaitu relasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Maka fungsi PPMI disini sangat penting agar Indonesia bisa merasakan relasi tersebut. Sebenarnya dari seluruh PPI di dunia, PPI Mesirlah yang dipandang baik oleh Indonesia.
Sebenarnya saya (Hujaj) termasuk orang yang ketinggalan dalam tulis-menulis, tapi saya percaya diri untuk mengirimkannya ke penerbit dan Alhamdulillah layak untuk diterbitkan di Indonesia. Dari sini masih banyak masisir yang kurang percaya diri bahwa dirinya mampu, maka saya akan berusaha mengajak masisir lebih percaya diri agar bisa Indonesia bisa lebih merasakan realisasi kita.

Sejauh manakan keyakinan anda berdua untuk menang?
Seluruh masisir memiliki latar belakang yang berbeda, ada yang dari pondok salaf dan modern, sama seperti kami,karena lembaga pendidikan di Indonesia hanya dua itu saja. Kami optimis kawan-kawan akan memilih kami, tapi kami tetap tawakal kepada Allah apapun hasilnya, itu yang terbaik. (Hujaj)
Ketika sudah mengeluarkan seluruh tenaga, fikiran bahkan harta, kita pantas untuk optimis karena telah berusaha optimal, tapi jika usaha kita setengah-setengah, pantaskah kita optimis? (Agus)

Apabila telah berusaha optimal tapi takdir berkata lain, legowokah?
Menjadi presiden PPMI merupakan sebuah amanat yang besar, kalau kami terpilih Alhamdulillah, kalupun tidak tetap besyukur, karena ketika mendapatkan kenikamatan kita wajib mensyukurinya, tapi jika mendapatkan musibah kita wajib mensyukurinya dengan bersabar. Kami tidak tahu itu merupakan sebuah kenikmatan atau cobaan, hanya Allah lah yang tahu. Lalu siapapun yang akan terpilih nanti, kami akan tetap mendukung dan bekerja sama.

Ketika terpilih menjadi PPMI I dan II, apakah bisnis tempe alif tetap berjalan?
Sampai detik ini tempe alif tetap bejalan. Ketika Allah memberi amanah PPMI ini kepada kami, tempe alif pun akan tetap berjalan dan melayani masisir, karena alhamdulillah saya sudah mempunyai karyawan. Saya ingin mengutip kata Robert T. Kiyosaki, bahwa pengusaha sukses itu adalah ketika bisnisnya tetap berjalan, dan orangnya bisa jalan-jalan. Jadi ketika kita dapat amanah, Tempe Alif tetap berjalan, dan kita tetap bekerja melayani. (Redaktur: Fahmi/Icha)
Read More..

Senin, 04 Agustus 2014

Rindu


Rindu
Oleh: ‘ainfathah

Aku rindu pemimpin yang jujur
Jika hatinya lembut
Semoga jiwanya seteguh Abu Bakar

Aku rindu pemimpin yang adil
Jika wataknya keras
Semoga hatinya sepengasih Umar

Aku rindu pemimpin yang bijaksana
Jika sifatnya pemalu
Semoga hatinya sepemurah Usman

Aku rindu pemimpin yang teguh
Jika Ia pemberani
Semoga jiwanya seperiang Sayyidina Ali

Aku rindu pemimpin yang berkoalisi
Dengan Al-Quran dan Hadist Sang Nabi
Jika memutuskan perkara
Mengutamakan kebaikan dunia dan kehalalan ukhrawi

Aku rindu pemimpin yang mendurhakai nafsunya
Yang berdiri
Di garis depan kebenaran

Cairo, 03-08-2014
Read More..

Kamis, 31 Juli 2014

Sekali Lagi Tentang; Malu

Aku malu pada cicak-cicak di dinding itu.
Juga pada burung-burung yang terbang di langit senja itu.
Dengan segala kekurangannya.
Mereka berjuang, keluar sarang mencari makan.

Pantang bgi mereka mengaku miskin.
apalagi memalsukan surat.
hanya untuk mendapatkan THR, BLT atau apalah.
mereka tak mengerti.

mereka hanya percaya
dengan keyakinan utuh
bahwa tugas mereka hanya berusaha
tentang rezeki dan keberlimpahan
itu tentang kebaikan Tuhan

"Aku percaya" ujar burung, "sebaik-baik makhluk adalah manusia."
sedang sebaik manusia adalah orang yang mengemis di langit
bermanis muka di bumi
tak seorang pun yang tahu betapa pelik permasalahannya
kecuali Dia yang memang Maha Tahu.

Menyambut Senyuman Langit, 31-07-2014, 19.45
Read More..

Selasa, 22 Juli 2014

Tiga Matahari


Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai,  orang-orang bak bebek yang berbaris rapi mengular hingga ruang penjemputan. Aku keluar dengan hati yang penuh sesak, sepuluh tahun sudah. Ya, sepuluh tahun sudah aku tak menginjakkan kaki di Indonesia. Mataku berkaca-kaca, perasaan yang ada di dalam dadaku tidak dapat diterjemahkan dengan kata sebab kata hanya akan mempersempit makna.

Kabut  dingin membungkus lembut bandara dan sekitarnya.
Aku keluar bandara sambil menarik koper dan tas ranselku. Di luar, temanku Burtuqal sudah menungguku, dia melambai-lambaikan tangan seakan mengisyaratkan, hei Mi, aku di sini. Aku bergegas menuju temanku itu, seketika dia menghambur dan memelukku erat-erat. Kami haru, menangis.

“Gila Bro!, sepuluh tahun nggak pulang-pulang, nggak kangen lho sama gue?” Burtuqal melepaskan pelukan sambil mendorong bahuku, kami tertawa.
“Isy isy isy… sepuluh tahun kutinggalkan gaya bahasamu masih alay seperti itu?” aku menggeleng-gelengkan kepala, gagal paham.

Kami tertawa. Semacam ada kode dan kata sandi yang apabila diucapkan membuat kami langsung paham dan ingat masa lalu persahabatan kami. 15 menit berlalu, rintik-rintik kangen sudah mulai reda. Aku sudah menguasai keadaan.

“Ayo kita langsung pulang, kamu pasti kelelahan 12 jam di pesawat”
“Naik apa?”
“Udah, gampang itu, aku udah nyewa mobil kok”
“Oke”.
Pukul 4 pagi, mobil yang kami kendarai membelah sunyi malam Jakarta. Mobil sedan itu melaju, belok kiri, melewati tol dengan gagah menerobos kabut pagi, berbelok ke kiri lagi hingga sampai ke tempat tujuan. Kami hanya berdiam sepanjang perjalanan, aku lelah.

***
“Assalamu’alaikum, Ical, kamu sibuk nggak hari ini?  Aku ingin memperbaharui KTP-ku, 5 tahun yang lalu masa berlakunya habis.”
“Oke, nanti jam 8 aku jemput ke rumahmu.”
“Makasih, Cal, aku sudah lama tidak di Indonesia jadi sudah lupa dan sungkan berurusan dengan petugas KTP,” aku menutup telepon.

Aku merebahkan tubuhku di kasur, rasa lelah masih setia menemaniku. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku sebelum dijemput Burtuqal jam 8 nanti. Suara motor cukup bising di luar sana. Mataku terasa berat, ingin terlelap.

“Tok… Tok… Tok,” kudengar ada suara mengetuk pintu.
“Tok…Tok..Tok…Tototok…,” suara itu semakin mengeras, tidak berhenti memukul daun pintu.  Aku bergegas keluar, mukaku tiba-tiba memerah, gigiku bergemeretak, jika ada 10 level tingkat kemarahan, kemarahanku saat itu sudah mencapai level 10. Orang mau istirahat diganggu, mengetuk pintu tak tahu sopan santunnya pula.

Daun pintu kubuka, hampir saja orang yang mengetuk pintu itu  menepuk jidatku untungnya aku sigap menghindar bagai kodok yang meloncat dengan cepat. Dua orang berdiri di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tertegun menatap lamat-lamat sosok lelaki yang berdiri di depanku, mataku menyapu bersih dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Di sampingnya seorang perempuan berdiri anggun menghadap ke jalan raya, membelakangiku.

“Siapa lelaki berambut ikal dan berkulit kuning langsat ini? Dan perempuan itu…” aku melamun.
“Mi…” lelaki itu berteriak  seraya menghambur ingin memelukku. Aku tentu saja menghindar, bisa-bisanya orang yang mau kuterkam, kumarahi habis-habisan, eh seenaknya ingin memelukku. Dia heran. Aku heran. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.

“Thomatim? Hei, aku hampir saja lupa rupamu” kami akhirnya berpelukan erat.
“Hampir lupa? Kau bahkan sudah benar-benar lupa Mi,” ujarnya masih terbahak-bahak.
“Sepuluh tahun tak bertemu, kamu berubah 360 derajat, dulu kamu tuh hitam, pendek, ikal, dekil lagi, eh sekarang udah kayak pejabat aja.” Aku masih tidak percaya bertemu dengan Thomatim, teman SMA-ku sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar Mi, saya punya kejutan buat kamu,” Thomatim memanggil perempuan yang dari tadi hanya melihat kendaran berlalu-lalang, tak sedikitpun menghiraukan kami.

Perempuan itu, oi, tubuhnya tinggi semampai, kerudungnya panjang menjuntai, aku kenal betul dengan perempuan itu, Mazbalah, si bunga desa, pujaan semua lelaki, dia adik kelasku waktu SMA dulu. Tak ada lelaki yang tidak tertarik dengannya, termasuk aku. Demi melihatnya tersenyum, aku sampai lupa mempersilakan mereka untuk duduk.

“Ayo masuk, silakan duduk,” ujarku setelah menguasai keadaan.
Kami mengobrol santai, bercanda, sesekali aku menceritakan kesibukanku kuliah di luar negeri, hingga Mazbalah mengeluarkan kata-kata itu, kata awal yang akan kuingat hingga akhir hayatku.

“Kakak sepuluh tahun di luar negeri makin ganteng deh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kamu juga,” ujarku tersipu.
“Hei, Kak! Sepuluh tahun tidak berjumpa kakak, aku tetap perempuan lho,” dia tidak terima.
Aku tersenyum. Dia tersenyum, kali ini terlihat lebih ikhlas.
“Masih rajin nulis di blog?”
“Iya, Udah nerbitin buku malah. Alhamdulillah semua best seller.”
“Wah, sudah mapan dong, sudah saatnya nikah,” Thomatim tiba-tiba memotong pembicaraan kami, “aku saja sudah nikah,” ujarnya bangga.
“Dengan siapa?” Aku heran, perasaan tidak pernah dia memberi kabar.
“Itu, dengan perempuan yang di depanmu,” ujarnya santai.

Aku meneguk ludah, berusaha tak percaya. Badanku lemas seketika. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, alam sekitar mengisyaratkan kalau aku pulang ke Indonesia maka aku akan bahagia. Tapi inilah yang terjadi, faktanya Thomatim memang telah menikah dengan Mazbalah, cincin pernikahan mereka kokoh melekat di jari masing-masing. Oi, puisi-puisi yang kutulis, surat-surat tak sampai yang kukarang, buku-buku yang kuterbitkan, andai kau tau itu semua untukmu, Mazbalah. Ah, ranting kelapa kini patahlah sudah, perasaan yang kupendam bertahun-tahun kini tak akan bertemu muaranya. Aku tak semangat lagi meneruskan canda dengan mereka, hatiku patah, berlipat-lipat.

“Kamu itu sudah 28 tahun lho, Mi, apalagi yang kamu tunggu?” semangat betul Thomatim mengompori aku agar segera menikah, untung saja Burtuqal datang di saat yang tepat. Aku selamat dari bully mereka.

***
“Mau ke mana kita bos?” Burtuqal nyengir dengan air muka santainya, masih saja dia suka memanggil aku dengan sebutan bos, selera humornya masih tetap seperti dulu, tidak berubah.
“Kita ke kantor kelurahan dulu, aku mau memperbaharui KTP.” kataku mantap

Kami berempat akhirnya menuju kantor kelurahan menggunakan mobil yang disewa Burtuqal, aku duduk di depan di samping Burtuqal yang asik menyetir, kursi di belakang diduduki Thomatim dan istrinya, siapa? Istrinya? Ah, sakit sekali hatiku menyebutnya.

Mobil kami terus melaju melewati gang-gang kecil, membelah perumahan, hingga akhirnya sampai ke kelurahan. 

“Sudah sampai,” Burtuqal mengisyaratkan.
“Kenapa tidak turun?” aku balik bertanya, “temenin aku dong.”
“Sudah 28 tahun masih minta temenin bikin KTP?” Thomatim sengaja betul menyindir usiaku, belum puas nampaknya dia menyakitiku. Tunggu saja pembalasanku.

Aku keluar mobil dengan muka masam, kesal, berjalan gontai menuju kantor kelurahan. Tiba-tiba seorang perempuan menyapaku, senyumnya manis. Setidaknya cukup untuk mengobati kekecewaanku terhadap dua sahabatku itu. Apa? Sahabat? Bahkan mereka selalu mengerjaiku.

Aku dikasih nomor urut dan air mineral untuk menunggu giliran. Tiga menit, tiba giliranku. Aku disapa dengan senyum, petugasnya bekerja dengan gesit, tidak lelet apalagi berlama-lama. Semua petugas sibuk melayani tidak internetan apalagi membuka Facebook. 15 menit, selesai.

“ini Pak, sebagai terima kasih,” Aku menyodorkan uang seratus ribuan.
“Maaf Pak, kami tidak menerima uang tips,”
“Hah? Tapi ini hanya tanda terima kasih karena dilayani dengan baik,” aku protes.
“Maaf Pak, sudah tugas kami melayani dengan baik, sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih berhak.”
Whattt???”

Aku seperti bermimpi, sepuluh tahun yang lalu, ketika mengurus surat pengantar  nikah untuk kakakku bahkan petugasnya meminta uang 50 ribu. Kalau tidak diberi, maka surat pengantar nikahnya juga tidak diberi. Kan nggak lucu gagal nikah gara-gara tidak ada surat pengantar?

Aku berjalan kembali menuju mobil, kali ini emosiku sudah stabil.
“gimana? Mudahkan?” Thomatim menggodaku. Aku hanya diam, tidak menghiraukannya.
“Kita keliling-keliling Jakarta dulu, sudah lama kan tidak melihat keindahan Jakarta?” Burtuqal masih serius dengan setirnya.
“Eh, kalau ngajak bercanda jangan berlebihan, hari libur gini mau keliling Jakarta, mending tidur di rumah, lebih sejuk,” aku menolak ajakan tidak masuk akal Burtuqal.
“Kak Haromi kan sudah lama tidak melihat Jakarta, sekali-sekalilah kita keliling Jakarta bersama-sama seperti sepuluh tahun dulu,” suara itu, oi, sakit sekali hatiku mendengar Mazbalah berbicara, aku kembali teringat pernikahan mereka.

Aku terdiam, menunduk menekuri ujung kaki, buru-buru kubuang niat burukku pada kedua sahabatku, aku ingat kata nenek dulu, “salah satu syarat mutlak agar kau bahagia adalah, kau bahagia dan (memang) berbahagia melihat orang lain (teman, saudara bahkan musuh) hidup lebih beruntung. Bukan malah dengki, apalagi kepada teman sendiri, oi, itu jahat sekali.”  

Mobil kami menerobos membelah gagahnya gedung-gedung Jakarta, aku melirik kiri-kanan, bersih, tidak ada sampah. Bahkan ketika lampu merah, aku melihat motor mengantri tertib di belakang mobil, padahal celah lebar ada di depannya.

“Kenapa? Bingung?” Burtuqal seperti paham raut wajahku, “Jakarta sekarang bahkan tidak perlu polisi lalu lintas lagi, semua orang dengan senang hati mentaati ketertiban.” Burtuqal panjang lebar menjelaskan. Aku mengangguk pura-pura percaya. 

Benar saja, memang sepanjang jalan tak ada polisi dan tak ada pelanggaran. Aku melongo tak percaya. Sepuluh tahun yang lalu bahkan banyak yang parkir sembarangan, melawan arus, membuat kebisingan dengan memencet klakson. Sekarang? Oi, aku menepuk jidat memastikan bahwa tidak sedang bermimpi.

Kami kini tepat melintasi sebuah jembatan di atas sungai Ciliwung. Angin sejuk menerpa wajah, kami sengaja membuka jendela mobil, sebab udara alami sungguh lebih sehat daripada AC. Dan lagi-lagi saya tertegun, tidak ada polusi udara.

“Eh, sejak kapan anak-anak mandi dan bermain di kali Ciliwung yang nampak berbeda? Kita harus turun,” kali ini aku memaksa mereka semua untuk turun.
Kami tiba di tepi kali, menikmati sejuknya angin tepian sungai. Ciliwung benar-benar bersih.
“Eh, ada Pak Gubernur…” seorang anak berlari diikuti anak-anak yang lain, juga sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka antri menyalami Thomatim.
“Eh???” aku bingung.
“Tidak usah bingung,” Burtuqal menepuk bahuku, “4 tahun yang lalu Thomatim terpilih menjadi gubernur Jakarta.”
“Dan Burtuqal kutunjuk sebagai kontraktor,” ujar Thomatim nyengir sambil merangkul istrinya, “Kau lihatkan hasil kerjanya selama 4 tahun? Menakjubkan bukan?” mereka tersenyum.

Saya menggigit-gigit wortel tidak percaya dengan yang saya lihat. Pertanyaannya: 'dari mana saya dapat wortel?'

***
 “Sungguh benar ujar pepatah bijak dahulu, semua akan berubah, alam akan berubah, bumi akan berubah, air laut akan berkurang atau bertambah, gunung akan meletus atau runtuh, hanya satu yang tidak akan berubah, apakah itu? perubahan itu sendiri”
Read More..