Kebiasaan
buruk saya, jika sedang futur, malas, saya lanjurkan semalas-malasnya
sampai tingkat akut. Niat saya sederhana, agar bisa balas dendam, malas tingkat
akut versus semangat menggebu-gebu. Namun masalahnya, untuk menghadirkan
semangat itu tidak gampang, perlu berbagai cara; mulai dari menashihati diri
sendiri, membaca, menontonton film yang memotivasi, atau travel ketempat-tempat
tertentu, atau yang terakhir, “menangiskan diri” dengan mengingat perjuangan
orang tua yang ingin melihat anaknya tersenyum bahagia.
Tapi
untungnya, Allah selalu punya cara untuk hambanya. Kaidah yang pernah ditulis
seseorang teman saya, “Allah mempertemukan kita dengan seseorang itu, pasti
ada maksudnya,” saya pahami dengan sempurna. Hari itu hari ketiga
berturut-turut saya tidak menyetor hafalan karena malas, ke mesjid
sembunyi-sembunyi agar tak dilihat sang guru. Saya berhasil. Hingga tiba di
hari itu, selesai Isya saya berlama-lama di mesjid agar tidak bertemu guru. Setelah
pulang ternyata guru saya itu mengikuti saya dari belakang, saya kehabisan cara
untuk menghindar. Tidak ada pilihan lain kecuali mengucap salam dan berjabat
dengan beliau. Malam itu aku berjanji akan setor hafalan pagi harinya. Ya,
ternyata cara paling akhir untuk menghadirkan semangat adalah dipaksa. Sebab aku
sudah berjanji, dan aku tahu bahwa orang-orang keren tak pernah mengingkari
janji, maka aku ikuti jejak mereka. Paginya aku menyetor hafalan dengan penuh
semangat, dipaksa. Menepati janji :D
AA
Gym pernah berujar, “untuk meramalkan masa depan kita, lihat saja apa yang
kita lakukan saat ini.” ya, jika yang kita lakukan positif, maka positif
pula masa depan. Namun jika negatif, begitu pula masa depan. Teori ini biasa
kita kenal dengan teori kausalitas, atau dalam istilah Ippho santosa dalam
bukunya 7 Keajaiban Rezeki, law of attraction, hukum tarik-menarik,
sebab-akibat. Tentunya, logika linear kita juga meng-iyakan teori tersebut,
sebab kita percaya, sejauh mana usaha positifmu, sebanyak itu pula
keuntungannmu.
Ummi
juga pernah berujar , “setiap kita paling tidak memiliki dua teman hidup;
pertama rasa malas, dan kedua rajin. Yang pertama menjanjikan kemunduran,
sedang yang kedua menjanjikan kemajuan.” Meski demikian kita sering mempercayai
malas sebagai teman hidup. Akibatnya, kita terpental-pental ditendang
persaingan hidup.
Saya
sering bertanya kepada diri saya yang lain, apakah tokoh-tokoh besar dunia
semacam Al-kindi, Al-Ghazali, Einsten, Columbus dan yang lainnya tidak memiliki
rasa malas? Saya pikir tidak, mereka juga manusia yang tak lepas dari belenggu
yang bernama malas. Namun bedanya, mereka bisa memarjinalkan malas dan memprioritaskan
rajin. Saya yakin, jika semua orang bersahabat dengan rajin maka akan selalu
bermunculan ilmuan-ilmuan baru. Orang-orang keren baru.
Nabi
Muhammad SAW, manusia terkeren sepanjang masa, kekasih saya itu, Al-Mastalul
a’la, suri tauladan seluruh insan, yang bekerja keras untuk berdakwah,
berpeluh-basah, berdarah-darah, dalam suka atau sedih, tak menghalangi beliau
untuk menyampaikan risalah Allah. Jika beliau putus asa, malas-malasan, mungkin
kita sekarang dalam kegelapan yang nyata.
Begitu
pula Thomas Alfa Edison, manusia cerdas penemu bola lampu tersebut, yang
penemuannya dinikmati milyaran, atau bahkan hampir semua orang, dia tidak akan
dikenal dunia jika bukan karena kegigihannya yang pantang putus asa. Ratusan kali
gagal, bahkan tidak menyurutkan tekadnya untuk sebuah perubahan dan kemajuan. Jika
Edison putus asa, malas-malasan, mungkin saat ini dunia masih gelap gulita.
Jika
kehidupan serupa sebuah perjalanan, ada banyak tikungan, dataran, gunung-gunung
maka hidup adalah pilihan; kita memilih menjalaninya biasa-biasa saja, dataran.
Atau memilih yang penuh tantangan, mendaki, susah payah, kerja-keras. ketika kita
memutuskan untuk mendaki dan terus mendaki maka hasilnya adalah puncak-puncak,
semua puncak, puncak keberhasilan, bahkan kebahagiaan.
Seringkali,
kita bangun pagi dengan semangat menggebu-gebu, punya tekad, cita-cita tapi
seiring panasnya matahari, semangat kita ikut menguap bersama embun-embun. Atau
juga kita seting berjanji pada malam hari, bertekad untuk lebih baik, ingin
berbuat begini, begitu, tapi besok ternyata semangat itu menguap. Kenapa? Apa yang
menghentikan langkahmu? Ada perang yang menghadang? Atau ada harimau yang mau
menerkam? Atau ada benteng tebal yang menghalangi?
Atau
jangan-jangan itu karena dirimu sendiri, melangkah mundur, bersahabat dengan
malas, dan membentengi diri dengan galau, keluhan dan ribuan alasan?
Sekali
lagi, hidup adalah puilihan. “aku hari ini, adalah akumulasi dari aku yang lalu,
aku yang rajin menjanjikan aku yang berhasil.”
Sebuah
Muhasabah, Cairo, 1 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar