“Hah…
Apalah diriku ini, aku hanya pecundang yang mencoba menjadi
pahlawan kesiangan.”
“Hei
bahkan rembulan di atas sana pun seolah ikut mengejekku, dengan sinar redupnya
yang mencoba sembunyi di balik lembar-lembar awan. Ah, mungkin rembulan itu
takut kalau aku gampar mukanya yang putih itu.”
Dengan
langkah gontai aku terus menapaki jalan-jalan bisu ini dengan menggerutu.
Kucoba mengingat-ingat lagi kejadian yang menimpaku malam itu. Kukumpulkan potong-potong cerita yang masih
bening di bola mataku. Hingga, jadilah alur cerita yang sangat jelas.
Setiap
pagi baru adalah semangat baru. Hadiah baru. Selalu ada kejutan. Pagi selalu
istimewa, khususnya bagiku. Tapi itu dulu, sekarang? Pagi adalah lambang
kesunyian. Pagi adalah lambang kenestapaan. Kau tau kenapa? Pagi ini harusnya
menjadi pagi paling indah dalam sejarah hidupku. Tapi semuanya buyar setelah
keputusan di malam itu. Pernikahanku gagal. Kau tau sebabnya? Oke, akan
kuceritakan dari awal barangkali kau menemu solusi selelah memahami. Begini
ceritanya, eh… tapi ada syaratnya, sssttttt!... jangan bilang siapa siapa ya!
Aku malu.
Perkenalan
pertamaku dengannya adalah di sore itu, saat itu lembaga dakwah di kampusku
mengadakan pengkaderan. Aku sebagai mahasiswa lama sekaligus ketua lembaga
dakwah itu bertugas membimbing dan memberikan penjelasan kepada para kader.
Saat itulah perkenalan kami dimulai.
“Namaku Habibah, mahasiswa kedokteran asal
Yogyakarta,” ujarnya ketika tiba gilirannya memperkenalkan diri.
***
Waktu
terus berjalan, hari terus berlalu, minggu berganti minggu. Sering bertemu,
adalah penyebab tumbuhnya rasa fitrah sepasang insan berlainan jenis ini. Mulai
ada rasa aneh saat aku bejumpa dengannya. Mulai ada rasa beda. Tapi, dia memang
beda; paling cantik, paling rapi dan yang terpenting cara berpakayannya dengan
jilbab dan khimar, sangat syar’i.
Tapi
itulah Setan, dengan berbagai tipu dayanya, dia selalu punya celah untuk
menggoda. Andai Allah mengukur kemuliaan berdasarkan kecerdasan, maka Setanlah
yang paling tinggi derajatnya. Bagaimana tidak, melalui perempuan yang berpakaian
rapi, dia masih bisa menggunakannya untuk menggoda lelaki.
Bagi
laki-laki awam, fitnah terbesar mereka adalah wanita wanita telanjang
(berpakaian tapi hakikatnya telanjang) yang tidak menggunakan hijab. Yang
berpakaian seksi. Adapun bagi para ikhwan fitnah wanita berpakaian seksi itu
bagi mereka besar juga namun lebih besar lagi fitnah wanita yang sudah
berpakaian dan berhijab syar’i. mereka bisa menundukkan pandangan
terhadap wanita-wanita seksi. Namun sulit menundukkan hati terhadap akhwat yang
berpakaian syar’i.
Bagi
kami para ikhwan, melihat wanita wanita seksi di jalan, kami biasa menundukkan
pandangan. Namun yang tidak biasa bagi kami adalah mengetahui ada akhwat
berpakaian syar’i lewat di dekat kami. Benar kami menundukkan pandangan,
tapi hati dan pikiran kami sulit ditundukkan. Melihat wanita wanita seksi yang
lewat di depan kami, kemudian kami berpaling dan beristighfar, itu tidak
seberat melihat kibasan ujung jilbab panjang dan biru salah seorang dari
akhwat, itu akan terus terbayang-bayang dan mengganggu hati kami. Shalat jadi
tak khusuk. Belajar jadi tak nyaman. Tidur jadi tak tenang. Terganggu
karena ujung si jilbab biru.
***
“Assalamualaikum,
apa kabar Kak? Semoga Allah melindungimu. Senin lusa ada acara rutin seperti
biasakan kak di lembaga dakwah?”
Sms
itu biasa saja. Tidak ada kalimat istimewa di dalamnya. Tapi, bagi hati yang
sedang mekar berbunga, yang biasa jadi luar biasa, kadang kumpulan kata itu
indah bukan karena isinya, tapi karena pengirimnya. Itulah hati, mempunyai cara
menilai sendiri.
Sejak
itu hari hari terasa begitu indah, malam menjadi saksi. Siang bak bidadari. Pagi
melahirkan bait bait puisi. “isi hati kita serupa kuncup bunga, akan
bermekaran saat tertuang menjadi kata-kata cinta”.
Sejak
dia mengirimkan sms pertamanya itu, kami semakin sering berinteraksi.
“Kak,
bangun! tahajjud”, ujarnya mengirim pesan yang membuatku terbangun
karena suara dering pemberitahuan HP-ku yang keras.
“Iya,
Ana sudah bagun kok dari tadi. Anti sudah tahajjud belum?” ujarku seraya menuju
kamar mandi untuk berwudu. Sejurus kemudian aku kembali seraya melihat HP, ada
satu pesan.
“Sudah
dong, masa yang bangunin nggak tahajjud” ujarnya membalas pesanku.
“Oh
ya… besok senin lho, jangan lupa sahur ya”
“Okey,
wajib, kudu, harus, fardu ain :D :D LOL”
Rasa itu semakin bersemi ketika kami semakin sering
berkirim-kiriman pesan, mulai dari kata-kata mutiara, kata-kata dakwah, saling
menyemangati, saling membangunkan tahajjud, mengingatkan puasa, yang
sebenarnya, kalau lebih jernih melihat ke lubuk hati, semuanya adalah modus.
Tapi begitulah cinta yang tanpa ikatan, akan menghalalkan segala cara.
***
Embun-embun sejuk yang berpelukan dengan cahaya mentari melahirkan
pelangi-pelangi kecil yang semakin memperindah pagi itu. Aku melamun. Pikiranku
melayang-layang memikirkan sebuah langkah besar yang akan menjadi sejarah dalam
hidupku. “Sebagai lelaki, aku harus tegas. Jelas. Aku lelaki yang berprinsip.
Aku tak mau tergoda oleh Setan,” gumamku dalam hati. “Aku harus mengakhiri
hubungan tidak jelas ini atau melanjutkannya ke jenjang halal yang penuh
berkah. Aku lelaki. Tak boleh kalah oleh perasaan.”
Seminggu sudah aku mengumpulkan kekuatan. Memantapkan hati.
Memikirkan cara agar direstui kedua orang tua dan diterima oleh mertua. Shalat
tahajjud, puasa Daud, berdoa siang dan malam setiap di ujung sujud. Semua telah
kulakukan. Hingga terbitlah keberanian untuk mengutarakan maksud kepada kedua
orang tua.
“Mak! aku mau nikah” ujarku penuh gugup di sela-sela makan malam.
Sontak saja suasana jadi berubah. Semuanya diam. Hening. Tak ada
yang berucap.
“Kalau bercanda jangan serius dong Nak!...” ujar abah dengan raut
muka tak percaya.
“Saya serius Bah, saya sudah pertimbangkan matang-matang.” Ujarku sambil
menunduk malu.
“Memangnya kamu mau menikah dengan siapa?” kata mama memotong
pembicaraan kami, “setahu mama, kamu lelaki yang memegang prinsip anti pacaran,
mau menikah dengan siapa coba?” ujar mama melanjutkan dengan bertanya serius.
“Teman dakwah di kampus Mak!” ujarku santai setelah menguasai
keadaan.
Abah masih tertunduk menekuri perkataanku yang secara tiba-tiba.
Aku memang masih muda, 19 tahun. Itu yang menjadi pertimbangan abah. Dalam
pandangan abah, pemuda selalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Karena pemuda tak berpengalaman.
“Bah!,” ujarku memecah keheningan, “bukankah salah satu golongan
yang Allah malu untuk tidak mengabulkan permintaannya, salah satunya adalah
muda-mudi yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya?” Lanjutku.
Abah dan mama saling bertatapan bingung. Mereka tersadar bahwa
anaknya sudah dewasa. Mereka teringat dulu ketika aku masih kecil,
merengek-rengek menangis minta belikan mobil-mobilan. Rasanya baru kemaren
waktu itu, sekarang anaknya sudah dewasa. Sudah pengen nikah lagi.
“Mak! Mungkin saya masih muda, tapi muda bukanlah ukuran kedewasaan
seseorang. Sudah sejak umur 15 tahun saya menyiapkan diri untuk menjadi lelaki
tangguh yang akan melindungi kekasihnya. Itu artinya sudah 4 tahun saya
mempersiapkan diri untuk menikah. Buku-buku tentang bagaimana menjadi suami
yang baik sudah saya baca. Senior-senior yang baru menikah sudah saya tanya.
Saya mendapatkan kesimpulan; bahwa menikah itu tidak seindah yang dibayangkan,
tapi juga tidak sesulit yang diceritakan.”
“Setelah menikah” ujar senior menasihati saya, “justru lebih banyak
ujian. Tantangan. Tapi jika dimulai dengan meminta keridaan orang tua dan hanya
mengharap ridha Allah, semua akan indah.” ujarku menutup argumen.
“Nanti malam abah shalat istikharah dulu. Meminta petunjuk.” ujar abah setelah saya
mengutarakan kemantapan hati.
***
Malam itu sebenarnya tidak terlalu dingin, suasananya
damai, penuh ketenangan ( mungkin ini interpretasi dari “baiti jannati” kerena rumah itu selalu dibacakan
Ayat-ayat Allah) berlangsunglah perbincangan hangat sebagai “kata pengantar”.
Setelah lama berbincang, Tibalah saatnya untuk menyatakan maksud sesungguhnya.
Dengan Asma Allah, abah utarakan maksud kedatangan kami untuk melamar putrinya.
Ayah Habibah pun tersenyum menanggapi maksud kami. Sebenarnya, boleh saja si ayah memutuskan untuk menerima atau menolak lamaran kami, karena Ayah
merupakan wali mujbir, wali yang boleh memaksa gadisnya untuk
menikah jika se-kufu’. Namun, karena ayah si gadis ini adalah orang yang
bijak, ia lalu memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menjawab.
Entah apa yang terjadi, Habibah kemudian menangis
tersedu-sedu. Sebenarnya ia tau bahwa pemuda yang melamarnya adalah orang yang
baik, bijak, dan sesuai dengan kriteria suami impiannya. Namun, Ketika itu
terlontarlah ucapan dari mulutnya “
Maaf akhi, antum terlambat!...” .
Bagaikan diserang angin puting beliung aku dan keluarga
tak karuan rasa. Gadis impian yang sudah di depan mata, akankah dahulu orang
menjemputnya? Keyakinan yang awalnya membara, sirna ciut tak ada rasa. Aku
berusaha pasrah dan rela menerima. Namun perkataan Habibah tampaknya belum
selesai, Ketika tangisannya mulai reda, dengan menarik nafas panjang ia
perjelas maksudnya: “Maaf
akhi, Antum terlambat. Harusnya Antum meminang saya lebih cepat, biar kita
Nikahnya juga lebih cepat,” ujarnya dengan senyum yang membuat guratan
mukanya semakin jelas memerah.
Semuanya terdiam saling menatap, dan akhirnya saling
senyum ketika memahami maksud Habibah bahwa sebenarnya dia sudah lama menunggu
saat-saat itu. Kami semua hanyut dalam bahagia.
***
Seminggu setelah itu, tepat tanggal 8 april, sehari sebelum PEMILU, aku
dan keluarga diundang ke rumah Habibah untuk melanjutkan pembicaraan tentang
lamaran. Ada yang berbeda dari cara penyambutan. Yang dulunya semua menyambut
dengan ramah penuh senyum, malam itu datar penuh tanda tanya.
Setelah lama berbincang, akhirnya Ibunda Habibah langsung
menyampaikan maksudnya mengundang kami. To the point.
“Maaf semuanya, setelah kami menimbang lamaran ini tidak bisa
dilanjutkan. Malam itu, Habibah mengambil keputusan dengan terburu-buru. Tanpa meminta
pendapat kami terlebih dahulu.”
Bagai disambar gledek tujuh kali, aku kaget tak percaya apa yang
diucapkan Ibunda Habibah, alasannya tidak jelas dan tidak masuk akal. sebenarnya bukan alasan yang masuk akal yang kutunggu, tapi obat hati yang tersakitilah yang kuharapkan. Namun, itu tak kudapatkan. hatiku bagai ditusuk-tusuk dengan belati berkarat. hatiku penuh sesak dengan semak belukar tajam nan berduri. mencabik-cabik mengoyak dinding hati yang pernah berharap pelangi.
Suasana pertemuan
jadi tegang. Abah yang mencoba bertanya alasannya sebanyak tiga kali, hanya
dijawab dengan pernyataan maaf oleh keluarga Habibah. Setelah dirasa tidak akan mencapai kata sepakat, dengan berat hati
kami sekeluarga mengundurkan diri. Walaupun harga diri serasa di injak-injak
tapi abah dengan lapang menyatakan kami menerima keputusan dan silaturrahim akan
terus terjaga.
***
Begitulah ceritanya, hari-hari yang kulalui selanjutnya menjelma
kelabu yang saling berkelindan. Pagi gerimis. Siang rintik-rintik. Malam hujan
deras. Entah dapat ilham dari mana, hatiku melantunkan puisi;
Angin gemerisikkan dedaunan
Mengalunkan dahan kesana-kemari
Menari
Rayakan guguran daun kering
Harusnya langit telah turunkan hujan
Harusnya kabut tak lagi betah sesakkan dada
Harusnya mataku lebih bening melihat sekitar
Harusnya...
Namun langit tetap saja gelap
Awan hitam tetap kokoh tak teteskan hujan
Langit tetap kelabu
Dan kabut terlalu kukuh halangi mataku.
“Nak!,” ujar mama membuyarkan lamunanku, “kau tahu kenapa lamaranmu
ditolak?”
“Tidak, Mak!, mama tahu?"
“Tadi mama ketemu dengan Habibah di pasar. mukanya sendu penuh gurat-gurat kesedihan. katanya, lamaran kita ditolak karena abahmu dan ibunya Habibah berbeda partai”. saat ditanya kenapa dia tidak protes, ia hanya menjawab, "itulah lemahnya saya" ujarnya sambil menitikkan air mata, "tak pandai berdiplomasi. Aku hanya pandai menangis."
“Lalu apa hubunganya dengan lamaranku yang di tolak Mak?”
“Ceritanya panjang, nanti jika sudah lebih dewasa kau akan tahu”
####