Sabtu, 20 April 2013

apakah benar sesuatu yang tidak dikerjakan rasulullah "terlarang dan haram'?


Sebuah refleksi pemikiran, Belajar inshof (proporsional), bisa moderat, bisa memandang permasalahan sesuai amanah ilmu dan yg diinginkan syariat. Tulisan ini dihadirkan untuk menambah wawasan, dan menjadi ajang untuk berdiskusi bagi kita.

masuk topik :) Jika kita memperhatikan sebagian muslim yang terlalu bersemangat "melakukan pembenahan" (dalam tanda petik yah) saat "mengingatkan" Sesama saudara muslim yang lain, yg menurut mereka melakukan hal bid'ah adalah kata: "Ini tidak boleh, karena Nabi tidak melakukan". Atau dalih "Salaf tidak pernah melakukan hal ini, apa kita merasa lebih baik sehingga buat "amalan baru"?" Sekilas, dalih itu seolah benar dan cukup logis, dijamin deh orang awam pasti diem kalau dibilangin ini nggak dilakuin Nabi.

Kalimat yang secara teks benar tapi secara target itu salah, sering digunakan sebagai dalil bagi orang yg melarang tahlil, maulid, dll. Nah, sebenarnya, apa memang benar bahwa sesuatu yang tidak dilakukan Nabi itu TERLARANG DAN PASTI HARAM? Orang yang berpikir bahwa sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau salaf serta merta terlarang menunjukkan cara berpikirnya yg masih pendek.

Sebab pada dasarnya sesuatu yang tidak dilakukan Nabi tidak lantas begitu saj adiartikan terlarang. Harus ada dalil jelas yang menunjukkan larangan, Karena jika "Sesuatu yg tidak dilakukan Nabi" itu dianggap dalil. Akan banyak sekali hukum yg batal. Sebab tak ada di zaman Nabi. Contoh: berapa ribu fatwa dan hukum hasil ijtihad para ulama kita sepanjang masa yang tak ada di zaman Nabi juga tak dilakukan beliau.

Maka artinya jika kamu ketemu orang melarang sesuatu dg dalil "Nabi tidak melakukan", artinya orang itu sedang berkicau saja, hoax. Sebab dalil itu empat; Qur'an, hadits, Ijma' dan Qiyas. Nabi tidak melakukan atau Nabi meninggalkan sesuatu itu bukan dalil. Justru sikap Nabi itu malah menunjukkan ketiadaan dalil, yg dalam ushul fiqh dikenal dg istilah "Mas-alatut Tark".

Maka artinya, ketiadaan dalil tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk melarang sesuatu. Namun harus dihadapkan dg dalil2 umum. Lalu apa alasan Nabi tidak melakukan sesuatu itu? atau meninggalkannya? ada beberapa faktor, dan yg pasti tidak menunjukkan pelarangan. Semisal beliau tidak melakukan sesuatu karena khawatir akan diwajibkan buat ummatnya, sperti kasus shalat tarawih dan siwak. Atau semisal beliau meninggalkan sesuatu sebab terlupa, seperti pernah sholat asar dua rakaat saja & beliau bilang bahwa bliau juga manusia. Atau semisal beliau tidak melakukan sesuatu karena telah masuk dalam keumuman dalil qur'an dan sunnah semisal maulid dan tahlil. Atau beliau tidak melakukan sesuatu karena hal itu tak terlintas di benak beliau semisal mimbar, yg disuggest oleh para sahabat.

Maka artinya, jika hendak melarang sesuatu, di sana harus ada dalil yang jelas bahwa beliau memang terang2an melarang. Dan jika tidak ada dalil yang melarang artinya juga kita tidak bisa seenaknya main larang. Emang ini syariatnya siapa kok main larang. Intinya, Nabi atau salaf tidak melakukan sesuatu, artinya bukan lantas sesuatu itu dilarang, tetapi malah menunjukkan kelonggaran untuk melakukan sesuatu yg tidak dilakukan Nabi selama ada landasan dalil umum yang mencakupnya di sana.

Mungkin sebagian orang masih tidk terima dengan pendapatku ini dan menyanggah pakai dalil "lau kana khoiron la sabaquna ilaih" Andai sesuatu itu bagus maka tentu mereka melakukannya lebih dulu dari kita... apa nggak sadar kalau lagi2 dia salah dalil? Sebab dalil salah yg dia pakai ini adalah kata2nya orang kafir! coba dicek di qur'an.. ya gini ini akibat suka menggal2 dalil. Atau memakai dalih perbandingan yang tidak masuk akal sekaligus tidak logis, "Apa kalian merasa lebih baik dari Nabi?"

Coba pikir baik2, mana ada orang Islam yg waras yg merasa lebih baik dari Nabinya? Qiyas ma'al Fariq yg sangat lucu sekali.. Pada akhirnya, jika memang ingin melarang sesuatu, hadirkan dalil yg jelas, jangan dalil muter-muter yang malah membingungkan ummat. Sebab segalanya telah jelas di al-Qur'an dan Sunnah mana yg boleh dan mana yg tidak. Bukan yg mana tidak dilakukan atau ditinggal Nabi. Di alqur'an dikatakan "wa maa atakumur Rosulu fa khudzuhu wa maa NAHAKUM anhu fantahu..." Bukan "wa maa TAROKAKUM" atau "wa maa LAM YAF'ALIR Rosulu fantahu" .

Semoga mencerahkan, Mari pelajari agama ini dengan utuh, jangan separoh2, biar tidak salah dalil dan malah buat hukum baru. In uridu illa-l islaha mastatho'tu wa maa taufiqi illa billah.

Akhirnya, mari berargumen dengan subjektifitas, mari berargumen untuk mencari kebenaran, jngan sampai lupa sabda nabi lupa dg sabda Nabi "Khudzil hikmah min ayyi syai-in khorojat" juga dengan paradigma "Al-Muslim akhul muslim", malah terjadi sebaliknya, "al-muslim aduwwul muslim", aneh tapi nyata. Kita mengaku agen dakwah tapi kita lupa fiqhud da'wah, "ud'u ila sabili robbika bil hikmah... wa jadilhum billati hiya ahsan". Kita saling ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik, tapi kita melupakan Ihsan.

Silahkan ber Komentar, masih banyak dalil yang penulis tidak ketahui, apa yang kamu ketahui sampaikanlah, kita mencari kebenaran dan belajar bersikap moderat.

Bismillah, mari silahkan :)

4 komentar:

  1. Fahmi.... the best deh.... udh mntap qlo jd mhsiswa yaman.... hehehe.... ^_^

    BalasHapus
  2. Bagus.... Itulah Agama Kita yang Benar! Wahai.... Teman, teruslah berkarya dan memberi Amar Ma'ruf Nahi Munkar...!

    BalasHapus
  3. ada beberapa pertanyaan yg mungkin harus kita jawab bersama....

    pertama, siapa dan benarkah ada orang yg mengatakan bahwa "semua yang tidak dilakukan Nabi adalah terlarang atau haram"?

    kedua, apa pengertian bid`ah secara istilah yg difahami oleh ulama (tolong lakukan tahrir mahalla an-Niza`i)? sehingga kita bisa bersikap obyektif, (bukan subjektif seperti yang antum harapkan).

    ketiga, apa jawaban kita terhadap kaedah "al-Ashlu fil Ibadah at-Tahrim/at-Tauqif?

    keempat, sebatas mana keumuman "wa ma nahakum `anhu fantahu"? ataukah ada dalil yg bisa mengkhususkannya?

    saya harap, antum bisa menjelaskan semua pertanyaan ini, sebelum antum mengatakan dan menvonis tentang "orang-orang yang pendek akal`y ..." wallahu`alam... dan syukran atas jawabannya.

    BalasHapus
  4. Maksud saya subyektifitas adalah kita fahami dalil dan “kita” berargumen dg dalil, subyektifitasnya larinya ke kita bukan ulama.. bedakan sama subyaktifisme (taqlid a’ma ) :)
    Permasalahan orang yg salah menggunakan dalil, atau tak bisa menempatkan dalil, itu selalu kompleks, sebab memandang hanya dari satu arah,
    Sudah pernah ana ungkap perihal "mas-alatut tark", atau sesuatu yg tidak dilakukan Nabi, bagaimana kita menyikapinya, Masih saja beranggapan bahwa "Sesuatu yg ditinggalkan", itu sama dengan "larangan". Ketara orang seperti ini tidak paham bahasa. Ana ulang scra ringkas, bahwa sesuatu yg dilarang itu membutuhkan dalil jelas. Sedang sesuatu yg tdk dilakukan Nabi, bukan berarti larangan.
    Kaidah ini gunakan untuk memandang segala hal. Jangan terfokus pada kasusnya tanpa memakai kacamata analisa kasus itu. Semisal tahlil. Memang bener kumpul2 tahlilan itu tidak dilakukan di zaman Nabi, tapi apa ada larangan orang kumpul2 untuk tahlil? Lagipula tahlilan adalah berkumpul membaca dzikir. Segala bacaan yg dibaca di tahlil seluruhnya berdalil. Begitu juga jika dilihat dari sudut pandang lain, orang tahlilan (dzikir bareng2) juga ada dalil dzikir barengnya itu. Umpama sekarang mereka berargumen, bahwa kirim doa tahlil pada orang mati nggak nyampai, pahalanya jg tetap kembali ke pembacanya. Yang cukup lucu adalah argumen bahwa tahlil adl warisan budaya hindu. Coba mikir, mana ada orang hindu tahlilan baca laa ilaha illallah? Lah itu 7 hari, 100 hari, 1000 hari itu bukan budaya hindu? Itu hanya momentum, sebab budaya Jawa hapalnya sama angka2 itu. Atau salah pakai dalil, Kullu bid'atin dholalah, dalil ibadah baru. Apa ada yg bilang tahlil itu ibadah? salah alamat namanya
    Tahlilan hanya salah satu pintu kebaikan saja, sampean melakukannya, bagus, tak melakukan, tidak akan ada yg menggugat. Hari gini masih meributkan tahlil. Syukurlah masih ada yg mau berdzikir, apa sampean mau melarang orang dzikir? dunia udah kayak gini. Orang yg keukeuh pakai dalil "kullu bid'atin dholalah", juga kerap menutup mata dg dalil "man sanna sunnatan hasantan fil Islam". Sudah berapa kali dijelaskan bahwa melihat kasus jangan pakai kacamata kuda, tapi buka cakrawala selebar2nya, bahwa di sana banyak dalil. Sejauh mana kedalaman dalil wama nahaakum? Sejuh tak ada dalil yang melaranggnya
    Yang inshof (proporsional), tak perlu saling menyesatkan, insya Allah semua tetap masuk surga selama sama2 syahadat dan sama2 sholat. Ingat, kita ini berusaha menjadi muslim yg baik, bukan jadi muslim yg merasa baik.
    Mohon maaf jikalau ada kata2 yang kurang berkenn. Begitulah kemampuan sya merangkai kata.
    wAllhu ‘a’lam

    BalasHapus